Posisi Manajer, Bolehkah Di-Outsource?
PERTANYAAN
Apakah posisi manager di suatu perusahaan boleh dijabat oleh subkontraktor?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apakah posisi manager di suatu perusahaan boleh dijabat oleh subkontraktor?
Pertanyaan Saudara singkat tapi sangat luas, jadi agak sulit menangkap arah pertanyaan Saudara dan fokus pada (kira-kira) jawaban seperti apa yang Saudara harapkan. Saya berasumsi, mungkin maksudnya, adalah suatu -job- Manajer dijabat oleh tenaga kerja outsource (sumberdaya dari luar) yang Saudara istilahkan subkon atau -maksudnya- sub-kontraktor.
Berkenaan dengan itu, pada bagian awal yang perlu dipahami, bahwa Manajer adalah salah satu jenjang jabatan di suatu organisasi perusahaan –pada level- top management yang –pada umumnya- diposisikan setingkat di bawah Direksi (Board of Directors). Kalau masih ada (dibentuk) level jabatan di atas Manajer tersebut, biasanya diistilahkan Senior Manager atau General Manager atau bisa juga dengan nomenklatur lain yang sederajat.
Dalam kamus disebutkan: Manager, is a person who administers or supervises the affairs of a business, office, or other organization (Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 2004 p. 979).
Dengan begitu, seorang Manajer sangat dekat dengan Direksi, sehingga sering disebut “orang dalam”, orang kepercayaan, atau istilah lain “management committee” (committee-man), bahkan masuk dalam tim “board of management” atau dewan pengurus/badan pengelola. Oleh karena kedekatannya, seorang Manajer lebih lazim direkrut langsung oleh Direksi melalui perjanjian kerja (dalam hubungan kerja), sehingga -tentunya- memiliki rasa tanggung-jawab yang tinggi, punya kepedulian, dan punya rasa memiliki yang sangat kuat. Kalau tenaga kerja outsource, pasti tidak sedemikian itu, atau setidaknya sangat kurang.
Namun dalam perkembangannya, memang ada manajer-manajer tertentu yang tidak lagi direkrut langsung oleh pengusaha –employer- dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja). Sebaliknya, ada beberapa perusahaan tertentu yang memang spesialis menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan profesional di bidangnya. Ada yang menyediakan jasa konsultan, jasa manajemen, jasa pemasaran, jasa hukum dan lain-lain, yang lazimnya mereka ini direkrut bukan dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja, arbeidsovereenkomst), akan tetapi dilakukan atas dasar perjanjian melakukan jasa-jasa (overeenkomst tot het verrichten van enkelediensten), bisa secara personal, namun umumnya diperjanjikan secara korporat. Kalau melalui suatu perusahaan, maka perjanjian melakukan jasa-jasa dilakukan (diperjanjikan) atas dasar perjanjian kerja sama atau kemitraan (partnership agreement) antara business to business sesuai asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid dengan prinsip pacta sunt servanda).
Sebagai contoh, suatu perusahaan (user entity) membutuhkan seseorang yang paham dan mengerti atau pakar mengenai strategi marketing and advertising untuk memperkenalkan dan menjual -hasil- produknya. Perusahaan (user) tersebut tidak perlu harus merekrut tenaga kerja profesional (SDM) secara langsung (berdasar employment relation), akan tetapi dapat bermitra dengan suatu perusahaan (lembaga) yang menggeluti bidang dimaksud (melalui perjanjian jasa-jasa) yang -bersedia- menyediakan SDM yang andal dan profesional untuk menjadi leader of excellence pada perusahaan user, khususnya pada divisi sales departement.
Demikian juga dengan jasa hukum bila suatu perusahaan (user) membutuhkan SDM untuk menangani beberapa persoalan hukum yang (mungkin) sifatnya -hanya- sporadis dan fluktuatif. Dalam kaitan ini perusahaan (user) juga tidak harus merekrut (para) sarjana hukum –profesional- dengan segala macam spesialisiasi yang ada. Tetapi, cukup dilakukan melalui perjanjian (layanan) jasa-jasa hukum dengan suatu kantor konsultan hukum (law firm) yang memiliki SDM profesional dengan berbagai spesialisasi personil yang kompeten dan berkualifikasi guna memberikan advis.
Dalam konteks yang lebih luas (makro), praktik seperti itu memang termasuk dalam kategori outsourcing. Karena Perusahaan (Kantor) Konsultan Pemasaran atau Konsultan Hukum tadi, akan mengirim personelnya (out-source) untuk menjadi leader dan me-manage (para) marketing officer/sales, atau (dalam konteks hukum) memberikan advis kepada para legal officer yang direkrut langsung oleh perusahaan (user) melalui perjanjian kerja. Dengan demikian, tenaga kerja outsource dari perusahaan vendor/provider, hanya memberikan jasa-jasa konsultasi atau jasa advis atas dasar profesionalisme serta wawasan yang dimiliki. Sedangkan, teknis operasionalnya tetap dijalankan oleh pekerja/buruh perusahaan user yang bersangkutan.
Berkenaan dengan itu, praktik hubungan hukum antara Perusahaan Konsultan dengan SDM profesional yang “dikirim” (didistribusikan) ke perusahaan user dimaksud, tentunya dilakukan bukan dan tidak melalui perjanjian kerja (hubungan kerja), akan tetapi bisa jadi dilakukan -juga- atas dasar perjanjian melakukan jasa-jasa. Karena jika dilakukan melalui perjanjian kerja, maka terkesan “kantor konsultan” dimaksud berperilaku selaku “outsourcing company” (perusahaan alih daya).
Kalau kita mencermati ketentuan alih daya dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), bahwa suatu perusahaan (perusahaan pemberi pekerjaan, termasuk perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh) dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan(-nya) kepada perusahaan lainnya, yakni dengan perusahaan penerima pemborongan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, atau dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, maka konteksnya tentu saja berbeda.
Makna dari ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan tersebut, bahwa yang diserahkan pada “outsourcing agreement” adalah (paket) pekerjaan, yakni pekerjaan tertentu yang profesionalismenya ada pada pihak perusahaan. Dalam arti bukan hanya sekadar menghadirkan orangnya. Demikian juga, bahwa pekerjaan yang diserahkan tersebut, hanya sebagian, yakni pekerjaan penunjang (supporting) ataukah kegiatan jasa penunjang (non-core business) dan tidak seluruhnya (sesuai “alur”) serta tidak boleh pekerjaan pokok (core business).
Dengan demikian, kalau ada perusahaan-perusahaan tertentu yang secara profesional “menyewakan” manajer-manajer tertentu -yang memang profesional dan kompeten di bidangnya- untuk ditempatkan dan dipekerjakan pada (suatu) perusahaan lain, sepanjang dilakukan atas dasar profesionalisme, dan hubungan hukumnya dilakukan atas dasar perjanjian-perjanjian melakukan jasa-jasa (Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dalam arti bukan atas dasar perjanjian kerja, maka hemat saya, sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, kalau itu diperjanjikan atas dasar perjanjian kerja dan bukan pada pekerjaan yang profesional, hemat saya itu adalah semacam sewa-menyewa manusia (human trafficking) yang hampir-hampir sama dengan perbudakan (modern slavery) walaupun dalam konteks bisnis dan dalam bingkai yang lebih rapi, sehingga -mungkin- dianggap sudah lazim.
Semestinya praktik-praktik (tenaga kerja non-profesional) semacam itu ditiadakan, dengan merekrut langsung kebutuhan tenaga kerjanya melalui perjanjian kerja (dalam hubungan kerja) di antara para pihak sesuai ketentuan alih-daya dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Demikian, semoga bermanfaat bagi banyak pihak.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847;’
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?