KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian

Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian

PERTANYAAN

Apakah yang dimaksud dengan asas pembuktian terbalik?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Sebelumnya, kami akan jelaskan mengenai istilah yang Anda gunakan yaitu pembuktian terbalik. Perlu kita ketahui bahwa istilah yang benar bukanlah “pembuktian terbalik”, akan tetapi “pembalikan beban pembuktian”. Hal ini sebagaimana dijelaskan Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (hal. 129). Menurut Akil mengutip pendapat Andi Hamzah, istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Di dalam buku tersebut lebih lanjut ditulis bahwa

     

    “Istilah ini (pembuktian terbalik, ed.) sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian’.”

    KLINIK TERKAIT

    Pasal Santet dalam KUHP Baru dan Pembuktiannya

    Pasal Santet dalam KUHP Baru dan Pembuktiannya
     

    Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.

     

    Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Mengenai beban pembuktian, Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis:

     

    Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.

     

    Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”

     

    Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.

     

    Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

     

    Mengenai sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

     

    Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:

    “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.”

     

    Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

    “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”

     

    Selain di dalam UU Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    2.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

     

    Referensi:

    1.    Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

    2.    Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.

     

    Tags

    kuhap
    uu tipikor

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    1 Nov 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!