Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Selain UU Ketenagakerjaan, Ini Aturan untuk Pelaut

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Selain UU Ketenagakerjaan, Ini Aturan untuk Pelaut

Selain UU Ketenagakerjaan, Ini Aturan untuk Pelaut
Aroya Gultom, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Selain UU Ketenagakerjaan, Ini Aturan untuk Pelaut

PERTANYAAN

Untuk pekerja di laut atau pelaut, kita menggunakan aturan ketenagakerjaan yang mana? Apakah bisa dengan aturan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan atau aturan lain?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Aturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk pelaut selain didasarkan pada ketentuan umum dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, juga harus memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur secara spesifik tentang ketenagakerjaan di laut/kapal.  
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Secara umum perjanjian kerja antara si pemberi kerja dan pekerja/buruh didasarkan pada perjanjian kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
     
    Selain itu, aturan ketenagakerjaan dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) bersifat umum sehingga juga berlaku terhadap pekerja di laut. Hal ini dapat kita simpulkan dari definisi tenaga kerja dalam undang-undang tersebut yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.[1] Juga definisi pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[2]
     
    Undang-Undang Pelayaran
    Meski demikian, terdapat sejumlah aturan khusus yang berlaku untuk pekerja di laut/kapal, di antaranya adalah Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU Pelayaran”).
     
    Pelaut itu sendiri dikenal dalam Pasal 1 angka 40 UU Pelayaran sebagai awak kapal, yaitu orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
     
    Kelaiklautan kapal wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah pelayarannya, salah satunya meliputi kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang.[3]
    Lebih lanjut, kesejahteraan awak kapal diuraikan dalam Pasal 151 UU Pelayaran yang meliputi:
    (1) Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi:
    1. gaji;
    2. jam kerja dan jam istirahat;
    3. jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal;
    4. kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan;
    5. kesempatan mengembangkan karier;
    6. pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan atau minuman; dan
    7. pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.
    (2) Kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara Awak Kapal dengan pemilik atau operator kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
    Perlu dicatat, bahwa dalam mempekerjakan seseorang di kapal, Pasal 145 UU Pelayaran memberi batasan bahwa setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.
     
    Selain itu Pasal 337 UU Pelayaran sendiri juga menegaskan bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Sehingga, ketentuan ini mendukung pernyataan kami sebelumnya perihal keberlakuan UU Ketenagakerjaan untuk pekerja di laut/di atas kapal.
     
    Peraturan Pemerintah tentang Kepelautan
    Selain UU Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan (“PP Kepelautan”)  juga menegaskan beberapa ketentuan ketenagakerjaan untuk pelaut. Merujuk pada Pasal 17 PP Kelautan, untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:
    1. memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;
    2. berumur sekurangnya-kurangnya 18 tahun;
    3. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu;
    4. disijil
    Pada Pasal 18 ayat (1) PP Kepelautan dijelaskan bahwa syarat untuk disijil adalah adanya perjanjian kerja laut yang masih berlaku, yang memuat hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak sekurang kurangnya:[4]
    1. Hak pelaut:
    Menerima gaji, upah, lembur, uang pengganti hari-hari libur, uang delegasi, biaya pengankutan dan upah saat diakhirinya pengerjaan, pertanggungan untuk barang-barang milik pribadi yang dibawa serta kecelakaan pribadi serta perlengkapan untuk musim dingin untuk yang bekerja di wilayah yang suhunya 15 derajat celcius atau kurang yang berupa pakaian dan peralatn musim dingin;
    1. Kewajiban pelaut:
    Melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian, menanggung biaya yang timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas ketentuan yang ditetapkan perusahaan, menaati perintah perusahaan dan bekerja sesuai dengan jangka waktu perjanjia.
    1. Hak pemilik/operator:
    Memperkerjakan pelaut
    1. Kewajiban pemilik/operator: 
    Memenuhi semua kewajian yang merupakan hak-hak pelaut sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
     
    Perjanjian tersebut harus diketahui oleh perjabat pemerintah yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.[5]
     
    Selain ketentuan-ketentuan tersebut, PP Kepelautan juga mengatur berbagai aspek ketenagakerjaan lainnya termasuk jam kerja, upah minimum, hari libur, cuti, dan akomodasi yang tertuang dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 39.
     
    Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
    Lebih khusus lagi, untuk kapal perikanan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/Permen-kp/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan (“Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016”).
     
    Ada istilah Perjanjian Kerja Laut (“PKL”), yaitu kesepakatan antara awak kapal perikanan dengan pemilik kapal perikanan atau operator kapal perikanan atau nakhoda kapal perikanan atau dengan agen awak kapal perikanan yang memuat persyaratan kerja, jaminan kelayakan kerja, jaminan upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan dan musibah, jaminan keamanan, serta jaminan hukum yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
     
    Tujuan dari disusunnya PKL adalah untuk memastikan terpenuhinya persyaratan kerja, kondisi kerja, upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan, musibah, kematian, jaminan hukum, serta jaminan keamanan bagi awak kapal perikanan serta untuk menjamin:[7]
    1. perlindungan dan kesejahteraan bagi awak kapal perikanan; dan
    2. awak kapal perikanan yang dipekerjakan memiliki kompetensi, dokumen awak kapal perikanan, dan bersedia bekerja.
    Pembentukan PKL harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:[8]
    1. wilayah hukum PKL;
    2. kepastian hukum PKL;
    3. jenis PKL;
    4. kondisi dan persyaratan kerja di Kapal Perikanan;
    5. hak dan kewajiban;
    6. pelaksanaan PKL;
    7. kompetensi dan dokumen Awak Kapal Perikanan; dan
    8. isi dan format PKL.
    Jenis-jenis PKL juga berbeda dengan jenis perjanjian kerja pada umumnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016:
    PKL bagi Awak Kapal Perikanan dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
    1. PKL untuk waktu terbatas;
    2. PKL untuk waktu satu kali operasi Kapal Perikanan; dan
    3. PKL untuk jangka waktu tidak terbatas.
    Kemudian, Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016 juga mengatur lebih lanjut tentang PKL seperti hak dan kewajiban masing-masing pihak,[9] jam kerja, cuti dan izin kerja,[10] pengupahan,[11] asuransi,[12] pemutusan hubungan kerja,[13] hingga penyelesaian sengketa.[14]
     
    Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, aturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk pekerja di kapal/pelaut selain didasarkan pada ketentuan umum dalam UU Ketenagakerjaan, juga harus memperhatikan ketentuan dalam UU Pelayaran, PP Kepelautan, dan Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016 dengan tetap memperhatikan relevansi aturan-aturan tersebut terhadap kasus yang ada.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    [1] Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan
    [2] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 117 ayat (2) huruf e UU Pelayaran
    [4] Pasal 18 ayat (3) PP Kepelautan
    [5] Pasal 18 ayat (4) PP Kepelautan
    [6] Pasal 1 angka 2 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [7] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [8] Pasal 8 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [9] Pasal 21 – 22 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [10] Pasal 23 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [11] Pasal 24-29 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [12] Pasal 30-31 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [13] Pasal 37 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
    [14] Pasal 40 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016

    Tags

    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!