Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Secara umum perjanjian kerja antara si pemberi kerja dan pekerja/buruh didasarkan pada perjanjian kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain itu, aturan ketenagakerjaan dalam
Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) bersifat umum sehingga juga berlaku terhadap pekerja di laut. Hal ini dapat kita simpulkan dari definisi tenaga kerja dalam undang-undang tersebut yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
[1] Juga definisi pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
[2]
Undang-Undang Pelayaran
Pelaut itu sendiri dikenal dalam Pasal 1 angka 40 UU Pelayaran sebagai awak kapal, yaitu orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
Kelaiklautan kapal wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah pelayarannya, salah satunya meliputi kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang.
[3]Lebih lanjut, kesejahteraan awak kapal diuraikan dalam Pasal 151 UU Pelayaran yang meliputi:
(1) Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi:
gaji;
jam kerja dan jam istirahat;
jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal;
kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan;
kesempatan mengembangkan karier;
pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan atau minuman; dan
pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.
(2) Kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara Awak Kapal dengan pemilik atau operator kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlu dicatat, bahwa dalam mempekerjakan seseorang di kapal, Pasal 145 UU Pelayaran memberi batasan bahwa setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.
Selain itu Pasal 337 UU Pelayaran sendiri juga menegaskan bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Sehingga, ketentuan ini mendukung pernyataan kami sebelumnya perihal keberlakuan UU Ketenagakerjaan untuk pekerja di laut/di atas kapal.
Peraturan Pemerintah tentang Kepelautan
memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;
berumur sekurangnya-kurangnya 18 tahun;
sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu;
disijil
Pada Pasal 18 ayat (1) PP Kepelautan dijelaskan bahwa syarat untuk disijil adalah adanya perjanjian kerja laut yang masih berlaku, yang memuat hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak sekurang kurangnya:
[4]Hak pelaut:
Menerima gaji, upah, lembur, uang pengganti hari-hari libur, uang delegasi, biaya pengankutan dan upah saat diakhirinya pengerjaan, pertanggungan untuk barang-barang milik pribadi yang dibawa serta kecelakaan pribadi serta perlengkapan untuk musim dingin untuk yang bekerja di wilayah yang suhunya 15 derajat celcius atau kurang yang berupa pakaian dan peralatn musim dingin;
Kewajiban pelaut:
Melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian, menanggung biaya yang timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas ketentuan yang ditetapkan perusahaan, menaati perintah perusahaan dan bekerja sesuai dengan jangka waktu perjanjia.
Hak pemilik/operator:
Memperkerjakan pelaut
Kewajiban pemilik/operator:
Memenuhi semua kewajian yang merupakan hak-hak pelaut sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Perjanjian tersebut harus diketahui oleh perjabat pemerintah yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.
[5]
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, PP Kepelautan juga mengatur berbagai aspek ketenagakerjaan lainnya termasuk jam kerja, upah minimum, hari libur, cuti, dan akomodasi yang tertuang dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 39.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Ada istilah Perjanjian Kerja Laut (“PKL”), yaitu kesepakatan antara awak kapal perikanan dengan pemilik kapal perikanan atau operator kapal perikanan atau nakhoda kapal perikanan atau dengan agen awak kapal perikanan yang memuat
persyaratan kerja, jaminan kelayakan kerja, jaminan upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan dan musibah, jaminan keamanan, serta jaminan hukum yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
[6]
Tujuan dari disusunnya PKL adalah untuk memastikan terpenuhinya
persyaratan kerja, kondisi kerja, upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan, musibah, kematian, jaminan hukum, serta jaminan keamanan bagi awak kapal perikanan serta untuk menjamin:
[7]perlindungan dan kesejahteraan bagi awak kapal perikanan; dan
awak kapal perikanan yang dipekerjakan memiliki kompetensi, dokumen awak kapal perikanan, dan bersedia bekerja.
Pembentukan PKL harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
[8]wilayah hukum PKL;
kepastian hukum PKL;
jenis PKL;
kondisi dan persyaratan kerja di Kapal Perikanan;
hak dan kewajiban;
pelaksanaan PKL;
kompetensi dan dokumen Awak Kapal Perikanan; dan
isi dan format PKL.
Jenis-jenis PKL juga berbeda dengan jenis perjanjian kerja pada umumnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016:
PKL bagi Awak Kapal Perikanan dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
PKL untuk waktu terbatas;
PKL untuk waktu satu kali operasi Kapal Perikanan; dan
PKL untuk jangka waktu tidak terbatas.
Kemudian, Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016 juga mengatur lebih lanjut tentang PKL seperti hak dan kewajiban masing-masing pihak,
[9] jam kerja, cuti dan izin kerja,
[10] pengupahan,
[11] asuransi,
[12] pemutusan hubungan kerja,
[13] hingga penyelesaian sengketa.
[14]
Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, aturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk pekerja di kapal/pelaut selain didasarkan pada ketentuan umum dalam UU Ketenagakerjaan, juga harus memperhatikan ketentuan dalam UU Pelayaran, PP Kepelautan, dan Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016 dengan tetap memperhatikan relevansi aturan-aturan tersebut terhadap kasus yang ada.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 117 ayat (2) huruf e UU Pelayaran
[4] Pasal 18 ayat (3) PP Kepelautan
[5] Pasal 18 ayat (4) PP Kepelautan
[6] Pasal 1 angka 2 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[7] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[8] Pasal 8 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[9] Pasal 21 – 22 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[10] Pasal 23 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[11] Pasal 24-29 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[12] Pasal 30-31 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[13] Pasal 37 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016
[14] Pasal 40 Permen Kelautan dan Perikanan 42/2016