Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Legalitas Anak Perempuan Sebagai Jaminan Utang

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Legalitas Anak Perempuan Sebagai Jaminan Utang

Legalitas Anak Perempuan Sebagai Jaminan Utang
Muhammad Yasin, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Legalitas Anak Perempuan Sebagai Jaminan Utang

PERTANYAAN

Salam jumpa. Saya ingin menanyakan perihal mengenai anak perempuan sebagai agunan utang (parumaen di losung) pada masyarakat Batak Toba dikaji berdasarkan hukum positif Indonesia. Apakah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan anak tersebut? Terima kasih sebelumnya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda yang menarik. Parumaen di losung adalah istilah yang dikenal dalam masyarakat Batak Toba, yang secara harfiah berarti menantu di lesung. Istilah ini adalah kiasan kepada seorang anak perempuan yang dijadikan jaminan utang. Anak perempuan itu diserahkan keluarganya kepada keluarga lain (kreditur) untuk kemudian dipertunangkan. Anak gadis itu bekerja di rumah keluarga yang mempunyai piutang, sehingga anak itu sering juga disebut boru mangadop. Dengan kata lain, jika orang tua si anak mempunyai utang kepada seseorang dan belum mampu melunasinya, maka sebagai agunan utang, dia menyerahkan anak perempuannya untuk dipertunangkan dengan anak si pemberi utang.

     

    Praktik ini dikritik antara lain oleh J.C. Vergouwen (1986: 241-242) sebagai kontrak yang keberadaannya ‘sungguh ironis bagi seorang gadis’. Vergouwen menulis, walaupun anak perempuan seperti itu tetap disebut parumaen (anak menantu perempuan), namun kualifikasi itu, yang diembel-embeli kata losung (lesung) memperlihatkan dengan jelas bahwa kreditur berniat mengambil manfaat dari tenaga anak gadis itu.

    KLINIK TERKAIT

    Menggugat Janji-janji Kekasih, Bisakah?

    Menggugat Janji-janji Kekasih, Bisakah?
     

    Parumaen di losung merupakan salah satu model pertunangan yang diikuti dengan utang piutang. Vergouwen menyebut lagi istilah boru sihunti utang. Pada hakikatnya, pada kedua model itu anak perempuan dijadikan jaminan pembayaran utang kepada keluarga kreditur (biasanya keluarga dekat).

     

    Sayangnya, kami tidak menemukan hukum positif yang secara khusus mengatur masalah ini. Dalam praktiknya, posisi perempuan dalam budaya Batak Toba sudah mengalami perkembangan ke arah yang lebih positif (Sulistyowati Irianto, 2003).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Tetapi, khusus masalah anak dijadikan sebagai jaminan utang mungkin dapat dilihat dari (i) hukum jaminan utang, dan (ii) hukum perlindungan anak.

     

    Dari perspektif pertama, Anda kami sarankan membaca artikel klinik tentang jaminan utang. Dalam hukum dikenal istilah uang muka atau borgtocht sebagai jaminan perseorangan. Perjanjian penanggungan utang semacam ini diatur dalam Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Konsep penanggungan utang dalam konteks ini adalah suatu perjanjian yang mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, jika debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sifat perjanjian penanggungan utang adalah accessoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dan kreditur (H. Salim HS, 2007: 219). Dalam perspektif ini, menurut kami, jelas penyerahan anak perempuan tak memenuhi syarat sebagai jaminan utang.

     

    Putusan Mahkamah Agung No. 396K/Sip/1958 tanggal 11 Februari 1959 juga menegaskan uang yang diberikan oleh penggugat asli kepada tergugat asli tidak dapat disamakan sebagai uang muka yang akan dikembalikan kepada penggugat asli apabila perkawinan anak-anak dari kedua belah pihak tidak jadi dilangsungkan. Namun, uang tersebut dapat dipandang sebagai uang pengikat. Apabila putusnya pertunangan disebabkan pihak perempuan, maka uang harus dikembalikan dua kali lipat. Jika sebaliknya maka uang tersebut dianggap hilang. Lebih lanjut, dalam putusan Mahkamah Agung No. 46/K/Sip/1952 dinyatakan apabila pertunangan diputuskan oleh pihak perempuan maka pihak perempuan harus memberikan pihak pria ulos, bukan uang tunai sebagai penggantinya.

     

    Dari perspektif kedua, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Pasal 13 UU Perlindungan Anak menyatakan setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

    a.    Diskriminasi;

    b.    Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

    c.    Penelantaran;

    d.    Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

    e.    Ketidakadilan; dan

    f.     Perlakuan salah lainnya.

     

    Kalaupun ada upaya pemisahan anak dari orang tuanya (dalam kasus ini diserahkan kepada keluarga calon mertuanya), UU Perlindungan Anak tetap menegaskan bahwa pertimbangan utama adalah kepentingan terbaik si anak.

     

    Jika dilihat dari konstruksi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), hanya anak perempuan yang sudah berusia 16 tahun yang diperbolehkan menikah. Pengecualian hanya bisa lewat dispensasi pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk. Pasal 48 UU Perkawinan tidak menyebutkan larangan menggadaikan anak. Namun, orang tua dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum menikah kecuali kepentingan si anak menghendaki.

     

    Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat. Kami sarankan Anda untuk bertanya masalah ini ke tokoh-tokoh hukum adat Batak agar mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    3.    Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

     
    Putusan:

    1.    Putusan Mahkamah Agung No. 46/K/Sip/1952

    2.    Putusan Mahkamah Agung No. 396K/Sip/1958

     
    Referensi:

    1.    H. Hilman Hadikusuma. Hukum Adat dalam Yurisprudensi: Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

    2.    H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

    3.    J.C. Vergouwen. Masyarakat dan Hukum Adat Toba. Yogyakarta: LKiS, 1986.

    4.    Sulistyowati Irianto. Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Warisan Melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obopr Indonesia, 2003.

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!