KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kelainan Seksual Sebagai Alasan Perceraian

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Kelainan Seksual Sebagai Alasan Perceraian

Kelainan Seksual Sebagai Alasan Perceraian
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kelainan Seksual Sebagai Alasan Perceraian

PERTANYAAN

Bisakah jika istri menggugat cerai suami dikarenakan sang suami suka selingkuh dan memiliki kelainan, yaitu suka dengan sesama jenis (bisa dikatakan biseks)? Apa dampaknya jika rumah tangga dipertahankan, karena demi anak-anak tapi semuanya hanya cinta semu. Apa hukumnya jika istri berzinah dengan pria lain selain suami? Apa istri tersebut perlu dipertahankan atau tidak? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Pada dasarnya, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).

     

    Dalam suatu perkawinan, suami dan isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU Perkawinan). Selain itu, suami dan isteri juga memiliki kewajiban masing-masing. Berdasarkan Pasal 34 UU Perkawinan, suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan, isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual?

    Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual?
     

    Berkaitan dengan masalah yang Anda tanyakan yaitu gugatan cerai istri karena suami memiliki kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis, kita dapat menyimak pendapat yang disampaikan Drs. Ifdal, S.H. dalam artikel yang berjudul Perceraian Dengan Alasan Pihak Suami Isteri Menderita Kelainan Seks yang kami unduh dari badilag.net.

     

    Dalam tulisannya tersebut, Ifdhal menganalisis salah satu kasus gugat cerai yang diajukan istri (Penggugat) ke pengadilan agama dengan alasan suami (Tergugat) seorang homoseksual. Penggugat dengan Tergugat menikah pada 1992 di KUA, dua tahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama N. Sejak lahirnya putri mereka, antara Penggugat dengan Tergugat selalu cekcok, bertengkar dan berselisih, dalam pertengkaran dan perselisihan tersebut Tergugat sering kali menyakiti Penggugat seperti menempeleng/memukul. Sejak pemukulan terakhir Maret 1997 Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal dan Penggugat sudah tidak diberi nafkah oleh Tergugat, padahal anak ikut bersama Penggugat yang membutuhkan kelangsungan hidup.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Kelainan tergugat baru diketahui sejak anak mereka lahir. Kecurigaan Penggugat terhadap kelainan Tergugat sebetulnya telah mulai muncul pada saat memasuki perkawinan. Penggugat tidak pernah mampu melakukan hubungan badan dengan baik dan sikapnya acuh tak acuh kepada Penggugat namun dilain pihak Tergugat selalu berlaku manis kepada pembantu laki-lakinya. Perubahan sikap Tergugat selalu aneh, suka memukul dan pernah Penggugat melihat Tergugat sedang bercumbu dengan pembantu laki lakinya, akhirnya pembantu ini diusir oleh Penggugat, akan tetapi Tergugat bukan menyesali perbuatannya justru memukul Penggugat dan berusaha menyusul pembantu tersebut supaya kembali. Karena alasan dan pertimbangan inilah Penggugat memilih bercerai dengan Tergugat.

     

    Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentangPelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“PP No. 9 Tahun 1975”) diatur alasan-alasan perceraian, yaitu:

    a.    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

    c.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    d.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

    e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    f.     Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

     

    Ifdhal lebih lanjut menjelaskan, jika dihubungkan dengan alasan perceraian tersebut maka dengan adanya penyimpangan prilaku seks (homoseksual), yang sulit disembuhkan mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya kewajiban suami. Akibat selanjutnya antara Penggugat dengan Tergugat timbul percekcokan secara terus menerus. Dengan kedua alasan tersebut maka gugatan perceraian yang diajukan oleh Penggugat dapat dikabulkan oleh majelis Hakim setelah mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.

     

    Jadi, dalam hal suami ternyata homoseksual, istri dapat saja mengajukan gugatan cerai dengan alasan yang diatur dalam huruf e dan huruf f PP No. 9 Tahun 1975.  

     

    Mengenai dampaknya jika rumah tangga dipertahankan sebenarnya bergantung pada suami dan isteri itu sendiri dalam melanjutkan rumah tangganya. Pada dasarnya, memang benar bahwa apapun yang dilakukan oleh suami dan isteri harus memikirkan kepentingan si anak. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan perlindungan anak dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang salah satunya adalah memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak. Akan tetapi, apabila tetap mempertahankan rumah tangga tersebut hanya berakibat pada perselisihan dan pertengkaran yang membuat keadaan menjadi tidak kondusif bagi anak, maka perlu diperhatikan kembali keputusan isteri dalam mempertahankan rumah tangganya.

     

    Seperti kami jelaskan di awal, perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara suami dan istri. Mengenai ikatan lahir batin dalam suatu perkawinan ini, dapat disimak pendapat dari Ratih Lestarini sosiolog Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dikutip Ifdhal dalam tulisannya, sebagai berikut:

     

    “…suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan kata lain dapat dikatakan adanya hubungan formil. Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya suatu ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang sifatnya abstrak. Walaupun tidak nyata tetapi ikatan itu ada, karena tanpa ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.

     

    Kemudian, pertanyaan Anda selanjutnya adalah mengenai istri yang berzinah. Jika isteri berzinah dengan pria lain, isteri dan teman zinahnya tersebut dapat dituntut berdasarkan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

     

    (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

    1.            a.       seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

                       b.       seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

    2.            a.       seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

                       b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

    (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

    (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

    (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

    (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

     

    Akan tetapi, perlu diketahui bahwa tuntutan pidana mengenai perzinahan merupakan suatu delik aduan yang absolut, yang berarti tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (yang dipermalukan).

     

    Lebih lanjut mengenai perzinahan, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini:

    1.    Pidana Bagi Pelaku Perselingkuhan dan Pengirim Foto Porno;

    2.    Suami Dalam Dilema Karena Istri Selingkuh.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.    Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

    4.    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

     

    Tags

    uu perkawinan
    gugat cerai

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!