Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengusaha Tak Setor PPN, Apa yang Dapat Dilakukan Pembeli?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Pengusaha Tak Setor PPN, Apa yang Dapat Dilakukan Pembeli?

Pengusaha Tak Setor PPN, Apa yang Dapat Dilakukan Pembeli?
Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI)Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI)
Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI)
Bacaan 10 Menit
Pengusaha Tak Setor PPN, Apa yang Dapat Dilakukan Pembeli?

PERTANYAAN

Apa langkah hukum yang dapat dilakukan apabila partner bisnis (PT A) tidak menyetorkan PPN ke kantor pajak atas transaksi yang telah kami (PT B) bayarkan ke PT A? Hukum apa yang dilanggar?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sebagai pembeli, PT B berkewajiban membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada PT A selaku pengusaha kena pajak yang menyerahkan barang atau jasa kena pajak.
     
    Maka, terlepas dari apakah PT A menyetor atau tidak PPN yang telah dibayar PT B, PT B harus tetap melakukan kewajibannya sebagai pembeli untuk membayar PPN ke PT A, sehingga PT B terhindar dari penggelapan pajak.
     
    Atas perbuatan PT A yang tidak menyetorkan PPN ke Kantor Pelayanan Pajak, PT A dapat dikenai sanksi pidana.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Untuk pembeli yang memperoleh barang atau jasa kena pajak, maka harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”).[1] Penyerahan barang atau jasa kena pajak ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (“PKP”).[2]
     
    Berdasarkan pertanyaan Anda, PT B berarti adalah pembeli karena merupakan pihak yang melakukan pembayaran, sedangkan PT A adalah PKP atau pihak yang menyerahkan barang atau jasa kena pajak.
     
    Pembeli membayar PPN kepada PKP, lalu PKP menyetorkan PPN ke kas negara.
     
    Terkait hal ini, terdapat berbagai hak dan kewajiban yang melekat pada PKP. Penjelasan Pasal 3A ayat (1) UU 42/2009 menerangkan bahwa PKP wajib:
    1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP;
    2. memungut pajak yang terutang;
    3. menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang; dan
    4. melaporkan penghitungan pajak.
     
    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan perubahannya, hak PKP, antara lain:
    1. PKP dapat melakukan pengkreditan pajak masukan/pembelian atas barang atau jasa kena pajak;
    2. PKP dapat meminta restitusi jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran/penjualan dan berhak pula atas kompensasi kelebihan pajak.
     
    Maka, terlepas dari apakah PT A menyetor atau tidak PPN yang telah dibayar PT B, PT B harus tetap melakukan kewajiban PT B sebagai pembeli untuk membayar PPN ke PT A, sehingga PT B terhindar dari penggelapan pajak.
     
    Selain itu, berdasarkan Pasal 16F UU 42/2009 dan penjelasannya, pembeli tidak akan bertanggung jawab secara renteng dengan PKP atas pembayaran PPN yang tidak dapat ditagih kepada PKP sepanjang dapat menunjukkan bukti bahwa PPN telah dibayar ke PKP.
     
    Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ditekankan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
     
    Atas perbuatan PT A yang tidak menyetorkan PPN ke Kantor Pelayanan Pajak, maka PT A dapat dijerat dengan pasal di atas.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah ketiga kali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;
     

    [1] Penjelasan Pasal 16F Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU 42/2009”)
    [2] Pasal 1 angka 15 UU 42/2009

    Tags

    pajak
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!