Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit?

Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit?
Abraham Devrian, S.H.A&CO Law Office
A&CO Law Office
Bacaan 10 Menit
Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit?

PERTANYAAN

Apabila sebagai kreditur, saya ingin memohonkan pailit terhadap debitur saya, haruskah saya melayangkan somasi terlebih dahulu kepada debitur saya tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Intinya, somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran atas kelalaian yang telah disampaikan kreditur.

    Lantas, apakah somasi harus dilayangkan terlebih dahulu sebelum permohonan pailit?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Bimo Prasetio, S.H. & Asharyanto, S.H.I. dari SMART Attorneys at Law dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 31 Oktober 2013.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Akibat Hukum Jika Somasi Diabaikan

    Akibat Hukum Jika Somasi Diabaikan

    Pengertian Somasi

    Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan somasi. Somasi menurut M. Khoidin adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran atas kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi, kreditur menyatakan kehendaknya bahwa perjanjian harus dilaksanakan dalam batas waktu tertentu.[1] Sedangkan menurut Joko Sriwidodo dan Kristiawanto, somasi adalah teguran dari si kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara ke duanya.[2]

    Istilah somasi sendiri tidak dikenal dalam KUHPer, namun, dasar hukum somasi diatur dalam Pasal 1238[3] yang berbunyi sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

    Dalam pasal 1238 KUHper, dengan tegas dinyatakan, bahwa apabila suatu perikatan tidak menentukan suatu tenggat waktu untuk melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati, maka debitur hanya dapat dianggap lalai setelah kreditor menyatakan bahwa debitor lalai dengan suatu surat perintah. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perintah dari Pasal 1238 KUHper berarti tegoran atau tuntutan oleh pihak yang berhak ditujukan kepada pihak berwajib dengan perantaraan juru sita supaya pihak berwajib memenuhi kewajibannya segera atau dalam tempo yang disebutkan dalam surat tegoran itu.[4]

    Kemudian, Subekti juga berpendapat bahwa biasanya peringatan atau sommatie dilakukan oleh seorang juru sita dari Pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berhutang.[5]

    Meskipun Pasal 1238 KUHper mengatur bahwa pernyataan atas keadaan lalai bersifat substitutif, dimana surat somasi diperlukan dalam hal suatu perikatan tidak menentukan tenggat waktu pelaksanaan prestasi, namun, dalam praktiknya meskipun dalam suatu perikatan telah ditentukan tenggat waktu pelaksanaan suatu prestasi, pihak kreditor akan tetap mengirimkan surat somasi sebagai tanda bahwa debitor telah diperingatkan dan/atau dinyatakan lalai secara tertulis.[6]

    R. Setiawan berpendapat bahwa jika dalam persetujuan ditentukan waktu tertentu bagi debitur untuk berprestasi, ini belum berarti bahwa dengan dilanggarnya waktu tersebut debitor sudah melakukan ingkar janji. Untuk itu, masih diperlukan penetapan lalai.[7]

    Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga) cara terjadinya somasi, yaitu:[8]

    1. Debitur melaksanakan prestasi yang keliru;
    2. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan; dan
    3. Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur karena kadaluwarsa.

    Kemudian, isi yang harus dimuat di dalam surat somasi, antara lain:[9]

    1. apa yang dituntut;
    2. apa dasar tuntutan; dan tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi.

    Sedangkan, peristiwa-peristiwa yang tidak memerlukan somasi, antara lain:[10]

    1. debitur menolak pemenuhan;
    2. debitur mengakui kelalaian;
    3. pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan;
    4. pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos); dan
    5. debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

    Baca juga: Pengertian Somasi dan Cara Membuatnya

    Keterkaitan Hukum Antara Somasi dan Pailit

    Dalam kaitannya dengan permohonan pailit, pengajuan permohonan kepailitan diatur dalam UU 37/2004. Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 mengatur bahwa:

    Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

    Berdasarkan ketentuan diatas, dapat kami simpulkan bahwa agar permohonan pailit dapat dikabulkan, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, yakni:

    1. Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor;
    2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

    Berkaitan dengan unsur ‘debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’ menurut hemat kami, salah satu hal yang dapat membuktikan bahwa debitor memang telah lalai dalam melakukan pembayaran atas suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah keberadaan surat somasi yang telah dilayangkan terlebih dahulu oleh kreditor terhadap debitor.

    Baca juga: 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya

    Kesimpulannya, somasi adalah teguran dari kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati. Kemudian, sebelum mengajukan permohonan pailit, sebaiknya kreditor mengajukan surat somasi terlebih dahulu kepada debitor dan menuntut agar debitor memenuhi kewajibannya. Dalam hal kreditor telah mengirimkan surat somasi kepada debitor, dan debitor tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya, maka surat somasi tersebut dapat digunakan sebagai salah satu tanda pemenuhan unsur ‘debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’. Dengan demikian, hal tersebut menjadi salah satu unsur agar suatu permohonan pailit dapat dikabulkan.

    Baca juga: Bisakah Suatu Negara Dinyatakan Pailit?

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

    Referensi:

    1. Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021;
    2. M. Khoidin. Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata. Yogyakarta: Laksbang Justitia, 2020;
    3. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Binacipta, 2007
    4. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Penerbit PT. Intermasa, Cetakan XXXI, 2003;
    5. Wirjono Prodjodikoro. Bunga Rampai Hukum Karangan Tersebar. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1974.

    [1] M. Khoidin. Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata. Yogyakarta: Laksbang Justitia, 2020, hal. 43.

    [2] Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021, hal. 20.

    [3] Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021, hal. 20.

    [4] Wirjono Prodjodikoro. Bunga Rampai Hukum Karangan Tersebar. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1974, hal. 120.

    [5] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Penerbit PT. Intermasa, Cetakan XXXI, 2003, hal. 147.

    [6] Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Binacipta, 2007, hal. 20.

    [7] Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Binacipta, 2007, hal. 20.

    [8] Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021, hal. 20.

    [9] Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021, hal. 20.

    [10] Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2021, hal. 20.

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    21 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!