Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Mempekerjakan Pekerja Hamil pada Pukul 15.00-23.00

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Hukumnya Mempekerjakan Pekerja Hamil pada Pukul 15.00-23.00

Hukumnya Mempekerjakan Pekerja Hamil pada Pukul 15.00-23.00
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Mempekerjakan Pekerja Hamil pada Pukul 15.00-23.00

PERTANYAAN

Saya seorang pekerja outsourcing wanita sudah lima tahun dikontrak di sebuah pabrik di Bekasi. Tiba-tiba pimpinan PT saya yang sekarang merotasi saya tanpa alasan yang jelas untuk kerja shift, padahal saat ini kondisi saya sedang hamil dengan usia kandungan lima bulan. Yang saya ingin tanyakan, ada tidak larangan bagi wanita yang sedang hamil untuk bekerja pada malam hari dengan jam kerja 15.00 - 23.00? Apakah tanggung jawab sebuah perusahaan hanya sebatas dari kantor dan keluar kantor? Karena setahu saya tanggung jawab perusahaan itu dari kita berangkat kerja sampai tiba kembali ke rumah.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Wanita hamil pada dasarnya hanya dilarang dipekerjakan di antara pukul 23.00 – 07.00. Namun di sisi lain, Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan justru melarang sepenuhnya pengusaha untuk mempekerjakan wanita hamil pada malam hari, yaitu setelah pukul 18.00. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dijerat hukum pidana.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 13 November 2013.
     
    Mempekerjakan Perempuan Hamil
    Perlu Anda ketahui, ketentuan jam kerja pekerja perempuan hamil dapat ditemukan dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
     
    Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
     
    Jika dilihat dari ketentuan di atas, maka jelas bahwa jam kerja untuk pekerja perempuan yang sedang hamil tidak boleh antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 7.00. Apabila dilanggar, pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat satu bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.[1]
     
    Namun patut diperhatikan bahwa secara khusus, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (5) Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan (“Perdakab Bekasi 4/2016”) mengatur bahwa:
     
    1. Pengusaha dilarang mempekerjakan Pekerja/Buruh perempuan pada malam hari sejak dinyatakan hamil sampai dengan melahirkan dan di masa menyusui sampai bayi berusia 24 (dua puluh empat) bulan;
    2. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dikenakan sanksi pidana.
     
    Jika siang hari menurut Pasal 1 angka 27 UU Ketenagakerjaan adalah waktu antara pukul 06.00 – 18.00, maka, menurut hemat kami, malam hari dihitung setelah pukul 18.00. Dengan demikian, jam kerja yang Anda tanyakan telah melanggar ketentuan Perdakab Bekasi 4/2016, karena telah melebihi pukul 18.00.
     
    Pengusaha yang melanggar ketentuan di atas dapat dipidana berdasarkan Pasal 85 ayat (1) Perdakab Bekasi 4/2016 yang berbunyi:
     
    Ketentuan Pidana adalah sanksi pidana berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kecuali jika ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan.
     
    Sanksi tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja/buruh, serta tidak menghilangkan sanksi administratif.[2]
     
    Keselamatan dan Kesehatan Kerja
    Ada aspek lain yang penting diperhatikan di sini, yakni aspek kesehatan pekerja, terutama pekerja yang sedang hamil seperti Anda.
     
    Sejatinya pengusaha wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
     
    Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
    1. keselamatan dan kesehatan kerja;
    2. moral dan kesusilaan; dan
    3. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
     
    Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[3]
     
    Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.[4]
     
    Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.[5]
     
    Menurut hemat kami, jika sampai terbukti bahwa pengusaha mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga menyebabkan pekerjaan yang dilakukan mengganggu kesehatan ibu dan/atau janinnya, bahkan menyebabkan keguguran, maka perusahaan telah melanggar ketentuan Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
     
    Sanksi administratif akan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, berupa:[6]
    1. teguran;
    2. peringatan tertulis;
    3. pembatasan kegiatan usaha;
    4. pembekuan kegiatan usaha;
    5. pembatalan persetujuan;
    6. pembatalan pendaftaran;
    7. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
    8. pencabutan izin.
     
    Perselisihan mengenai hak pekerja/buruh dan kewajiban pengusaha terkait keselamatan dan kesehatan kerja dapat diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
     
    Salah satu jenis perselisihan hubungan industrial dalam UU PPHI adalah perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[7]
     
    Baca juga: Perbedaan Konsiliasi dengan Arbitrase dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
     
    Antar Jemput Pekerja
    Terkait tanggung jawab perusahaan setelah keluar pabrik, Pasal 76 ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa:
     
    Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
     
    Jadi, di sinilah letak tanggung jawab perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan untuk perjalanan dari kantor hingga pulang ke rumah.
     
    Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-224/Men/2003 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00, yang menegaskan bahwa:
     
    1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 berkewajiban untuk:
    1. memberikan makanan dan minuman bergizi;
    2. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
    1. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.
     
    Pelanggaran atas ketentuan ini memiliki sanksi yang serupa dengan larangan mempekerjakan perempuan hamil dalam UU Ketenagakerjaan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    2. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan.
     

    [1] Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [2] Pasal 85 ayat (3) Perdakab Bekasi 4/2016
    [3] Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [5] Penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [6] Pasal 190 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [7] Pasal 2 huruf a jo. Pasal 1 angka 2 UU PPHI

    Tags

    perempuan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!