Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 13 November 2013.
Mempekerjakan Perempuan Hamil
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Jika dilihat dari ketentuan di atas, maka jelas bahwa jam kerja untuk pekerja perempuan yang sedang hamil tidak boleh antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 7.00. Apabila dilanggar, pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat satu bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.
[1]
Namun patut diperhatikan bahwa secara khusus, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (5) Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan (“Perdakab Bekasi 4/2016”) mengatur bahwa:
Pengusaha dilarang mempekerjakan Pekerja/Buruh perempuan pada malam hari sejak dinyatakan hamil sampai dengan melahirkan dan di masa menyusui sampai bayi berusia 24 (dua puluh empat) bulan;
…
…
…
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dikenakan sanksi pidana.
Jika siang hari menurut Pasal 1 angka 27 UU Ketenagakerjaan adalah waktu antara pukul 06.00 – 18.00, maka, menurut hemat kami, malam hari dihitung setelah pukul 18.00. Dengan demikian, jam kerja yang Anda tanyakan telah melanggar ketentuan Perdakab Bekasi 4/2016, karena telah melebihi pukul 18.00.
Pengusaha yang melanggar ketentuan di atas dapat dipidana berdasarkan Pasal 85 ayat (1) Perdakab Bekasi 4/2016 yang berbunyi:
Ketentuan Pidana adalah sanksi pidana berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kecuali jika ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan.
Sanksi tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja/buruh, serta tidak menghilangkan sanksi administratif.
[2]
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Ada aspek lain yang penting diperhatikan di sini, yakni aspek kesehatan pekerja, terutama pekerja yang sedang hamil seperti Anda.
Sejatinya pengusaha wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
keselamatan dan kesehatan kerja;
moral dan kesusilaan; dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
[3]
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
[4]
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
[5]
Menurut hemat kami, jika sampai terbukti bahwa pengusaha mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga menyebabkan pekerjaan yang dilakukan mengganggu kesehatan ibu dan/atau janinnya, bahkan menyebabkan keguguran, maka perusahaan telah melanggar ketentuan Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Sanksi administratif akan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, berupa:
[6]teguran;
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan usaha;
pembekuan kegiatan usaha;
pembatalan persetujuan;
pembatalan pendaftaran;
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
pencabutan izin.
Salah satu jenis perselisihan hubungan industrial dalam UU PPHI adalah perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
[7]
Antar Jemput Pekerja
Terkait tanggung jawab perusahaan setelah keluar pabrik, Pasal 76 ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa:
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Jadi, di sinilah letak tanggung jawab perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan untuk perjalanan dari kantor hingga pulang ke rumah.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 berkewajiban untuk:
memberikan makanan dan minuman bergizi;
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.
Pelanggaran atas ketentuan ini memiliki sanksi yang serupa dengan larangan mempekerjakan perempuan hamil dalam UU Ketenagakerjaan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan.
[1] Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 85 ayat (3) Perdakab Bekasi 4/2016
[3] Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[5] Penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 190 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 2 huruf a
jo. Pasal 1 angka 2 UU PPHI