KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Asasi Penderita Gangguan Jiwa

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hak Asasi Penderita Gangguan Jiwa

Hak Asasi Penderita Gangguan Jiwa
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hak Asasi Penderita Gangguan Jiwa

PERTANYAAN

Dengan hormat, saya ingin mengajukan pertanyaan tentang hak asasi manusia khususnya "orang gila/stres" yang dikurung atau dipasung oleh keluarganya karena dinilai bisa merugikan keluarga bahkan masyarakat di sekitarnya. Apakah langkah pengurungan/pemasungan yang dilakukan oleh keluarganya bisa disebut melanggar hak asasi manusia? Catatan: orang gila tersebut sering mengamuk sampai merusak barang bahkan tidak segan menyakiti orang lain.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Mengenai perlakuan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa/orang gila dengan cara dikurung atau dipasung dapat dianggap sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, setiap manusia berhak untuk hidup bebas dari penyiksaan sebagaimana yang termaktub dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di bawah ini:

     

    1.    Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?

    “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    2.    Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

     

    3.    Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)

    (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

    (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

    (3) Setiap orang berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat
     

    Dari bunyi pasal-pasal di atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk hidup bebas merupakan hak asasi manusia.

     

    Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:

     

    “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

     

    Orang gila dapat dikatakan cacat mental. Ini karena berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat berarti kekurangan yg menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yg terdapat pd badan, benda, batin, atau akhlak), sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Kemudian jika kita melihat arti dari “gila”, yaitu sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Ini berarti “gila” dapat berarti cacat mental karena adanya kekurangan pada batin atau jiwanya (yang berhubungan dengan pikiran).

     

    Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa orang gila yang memiliki gangguan mental/kejiwaan pun dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Tidak sepantasnya keluarganya memperlakukan orang gila tersebut dengan cara mengurung atau memasungnya.

     

    Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) yang berbunyi:

     
    Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan:

    “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.”

     
    Pasal 149 UU Kesehatan:

    “Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.”

     

    Pengurungan atau pemasungan orang gila, sekalipun dilakukan oleh keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri dan orang-orang sekitar, menurut hemat kami merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perampasan hak untuk hidup secara layak, yang berarti melanggar hak asasi manusia. Di samping itu, mengacu pada pasal di atas, hal yang dapat dilakukan oleh keluarganya demi tercapainya kehidupan layak bagi orang gila tersebut adalah dengan melakukan upaya kesehatan jiwa, yakni mengupayakan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

     

    Selain melanggar hak asasi manusia, keluarga yang melakukan pengurungan atau pemasungan dapat terjerat Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

     

    (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

    (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

    (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

    (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

     

    Menurut S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 547), yang dimaksud dengan merampas kemerdekaan adalah meniadakan atau membatasi kebebasan seseorang bergerak meninggalkan suatu tempat untuk pergi ke tempat lainnya yang dia inginkan. Perampasan kemerdekaan itu dapat terjadi dengan mengurung seseorang di suatu ruangan tertutup, dengan mengikat kaki atau anggota tubuh lainnya dari seseorang sehingga tidak dapat memindahkan diri, menempatkan seseorang di suatu tempat di mana ia tidak mungkin pergi dari tempat itu, dan mungkin juga dengan cara psychis (hipotis) sehingga ia kehilangan kemampuan untuk pergi dari suatu tempat dan lain-lain.

     

    Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan berarti keluarga dapat membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas. Karena jika keluarga membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat dengan Pasal 491 butir 1 KUHP:

     

    “Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”

     

    Menurut S.R. Sianturi, S.H. (Ibid, hal 390), walaupun pada Pasal 10 Reglemen tentang orang gila Stb 97/54, 4 Februari 1897 di Indonesia diatur ada kewenangan keluarga dekat dari seorang gila untuk memohon kepada ketua pengadilan negeri agar orang gila itu dirawat di lembaga perawatan orang gila demi ketentraman dan ketertiban umum atau demi penyembuhan orang gila itu sendiri, namun dalam prakteknya sulit dapat diharapkan kemampuan pemerintah untuk merawat semua orang gila.

     

    Karenanya, tetaplah merupakan kewajiban moril dan moral dari keluarga yang bersangkutan untuk merawat keluarganya yang sakit sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, mengingat keterbatasan kemampuan warga pada umumnya, maka dapat disaksikan adanya orang gila berkeliaran tanpa penjagaan. Tetapi hal ini masih lebih manusiawi dibandingkan dengan jika mereka dipasung. Karenanya, dalam praktik sehari-hari pasal ini tidak lebih dari suatu ketentuan yang mati.

     

    Oleh karena itu, akan lebih baik jika orang gila tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk mendapat perawatan yang semestinya dan agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang Dasar 1945;

    3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

    4.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

     
    Referensi:

    S.R. Sianturi, S.H. 1983. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Alumni AHM-PTHM: Jakarta.

     

    Tags

    gangguan jiwa

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    1 Nov 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!