Dalam industri konstruksi, banyak perusahaan yang menggunakan jasa mandor. Mandor adalah orang yang memimpin buruh-buruh lepas. Dengan menggunakan sistem mandor, perusahaan konstruksi hanya berhubungan dengan mandor saja sebagai pihak ketiga, tidak perlu berhubungan/bertanggung jawab terhadap buruh. Mandor ini bersifat perorangan dan tidak berbadan hukum. Ada dua tipe mandor, yang pertama adalah mandor yang dikontrak untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dan mandor yang dikontrak untuk menyediakan tenaga kerja. Sejauh pengamatan saya, banyak mandor yang tidak membayar buruhnya sesuai dengan UMP dan tidak pernah mengikutsertakan buruh dalam jaminan ketenagakerjaan (JHT, JK, JKM, dan JPK). Sejauh manakah kesesuaian sistem mandor ini dengan peraturan perundangan yang berlaku khususnya perundangan yang berkaitan dengan outsourcing?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perusahaanoutsourcing wajib berbentuk badan hukum. Hal ini diatur secara tegas dalam UU Cipta Kerja yang menghapus, mengubah, dan memuat pengaturan baru pada UU 13/2003.
Lalu bagaimana dengan mandor yang mempekerjakan pekerja/buruh lepas di bidang konstruksi?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Apakah Mandor yang Memimpin Buruh Lepas Mirip dengan Outsourcing? yang dibuat oleh Umar Kasim dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 5 Februari 2014, kemudian dimutakhirkan pertama kalinya pada Rabu, 30 Juni 2021.
Dalam konsepsi hukum perdata, penyerahan pelaksaan pekerjaan dari suatu pihak kepada pihak lainnya untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan yang ditentukan disebut dengan pemborongan pekerjaan.[1] Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 1604 s.d. Pasal 1616 KUH Perdata.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perlu diketahui, pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja yang Anda tanyakan merupakan jenis-jenis sistem outsourcing atau alih daya.
Selain itu, outsourcing juga merupakan salah satu pola kemitraan yang diakui dalam Penjelasan Pasal 87 angka 5 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 26 huruf g UU 20/2008.
Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, outsourcing diatur dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 UU 13/2003.
Pekerja outsourcingdapat dipekerjakan baik dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).[2]
Dalam hal pekerja outsourcing dipekerjakan berdasarkan PKWT, maka perjanjian kerja harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.[3]
Menyambung pertanyaan Anda, karena pada dasarnya kegiatan usaha pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerjaan yang dilakukan oleh mandor merupakan bentuk kegiatan usaha outsourcing/alih daya, maka perusahaannya wajib berbadan hukum dan memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah.[4]
Lantas, bagaimana hubungan kerja antara pekerja dengan mandor tersebut? Tentu saja, hubungan kerja tetap tunduk pada UU 13/2003.
Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (2) UU 13/2003 menegaskan bahwa perlindungan pekerja, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Menyambung pertanyaan Anda, lazimnya perjanjian dibuat dalam bentuk PKWT yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:[5]
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
pekerjaan yang bersifat musiman;
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek PKWT.[6]
Demikian juga mengenai jaminan sosialnya. Sepanjang memenuhi ketentuan syarat kepesertaan saat ini, setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.[7]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.