Di lingkungan rumah saya terdapat sebuah bangunan yang berbentuk bangunan hotel. Warga berbondong-bondong untuk menghentikan kegiatan usaha tersebut. Karena tidak ada izin dari RT maupun RW setempat dan ternyata dialihfungsikan oleh pemiliknya menjadi travel. Sampai saat ini belum ada kebenaran kegiatan usaha apa yang dilakukan di dalam bangunan tersebut karena tidak ada penamaan kegiatan usaha maupun nama usahanya. Warga masyarakat sering melihat sepasang kekasih atau orang-orang yang mendatangi hotel tersebut untuk menginap. Pertanyaannya: 1. Bagaimana apabila kami ingin menghentikan kegiatan usaha ilegal tersebut dengan jalur hukum? 2. Upaya hukum seperti apa yang dapat dijatuhkan untuk kegiatan usaha ilegal ini? 3. Dan bagaimana kita dapat membuktikan agar kegiatan usaha ilegal ini ditutup?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Untuk mengetahui legalitas pendirian bangunan gedung yang dijalankan sebagai hotel, terdapat beberapa perizinan yang harus diperiksa kesesuaiannya.
Pertama, terkait bangunan gedung. Harus ditelaah terlebih dahulu apakah bangunan tersebut telah memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya atau belum, termasuk di dalamnya kesesuaian bangunan gedung dengan dokumen-dokumen yang wajib dimiliki pemilik gedung.
Kedua, terkait perizinan usaha pariwisata yang dijalankan pelaku usaha. Harus diperiksa terlebih dahulu apakah pelaku usaha telah mengantongi perizinan usaha untuk menjalankan usaha hotel dan/atau travel tersebut.
Jika tidak memenuhi perizinan sebagaimana dimaksud di atas, apa sanksinya? Adakah upaya hukum yang bisa dilakukan masyarakat?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jika Terganggu Aktifitas Hotel ‘Gelap’ yang dibuat oleh Alfin Sulaiman, S.H., M.H. yang dipublikasikan pertama kali pada 10 Juni 2014.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Hal pertama yang perlu dilakukan apabila ada sebuah bangunan berdiri adalah mengetahui apakah bangunan gedung tersebut telah memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya atau belum, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”):
Setiap bangunan gedung harus memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, dan khusus.[1] Fungsi bangunan gedung tersebut ditetapkan berdasarkan fungsi utama yang ditentukan berdasarkan aktivitas yang diprioritaskan pada bangunan gedung.[2]
Selain itu, bangunan gedung juga dapat memiliki fungsi campuran, yang berarti dalam suatu bangunan gedung dimungkinkan terdapat 2 fungsi[3], misalnya fungsi hunian dan usaha.
Fungsi hunian berarti suatu bangunan gedung mempunyai fungsi utama sebagai tinggal manusia, sedangkan fungsi hunian berarti bangunan gedung tersebut mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha.[4]
Nantinya, fungsi bangunan gedung tersebut dicantumkan dalam Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”), Sertifikat Laik Fungsi (“SLF”), dan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (“SBKBG”)[5]. Disarikan dari Catat! Ini 3 Dokumen Penting Terkait Bangunan Gedung, PBG, SLF, dan SBKBG adalah:
PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung.[6]
PBG dapat dibekukan atau dicabut jika pemilik bangunan gedung tidak memenuhi kesesuaian penetapan fungsi bangunan gedung dalam PBG.[7]
SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum dapat dimanfaatkan.[8]
SBKGB adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan bangunan gedung.[9]
Setiap pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif[10], yang dapat berupa:[11]
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
pembekuan persetujuan bangunan gedung;
pencabutan persetujuan bangunan gedung;
pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
perintah pembongkaran bangunan gedung.
Perizinan Bagi Pelaku Usaha Hotel
Dalam pertanyaan, Anda menjelaskan bahwa bangunan tersebut menjalankan usaha hotel, tetapi kemudian dialihfungsikan sebagai travel.
Jika merujuk pada Pasal 67 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 14 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (“UU Kepariwisataan”) beserta penjelasannya, baik usaha hotel maupun travel yang dijalankan tersebut sama-sama merupakan usaha pariwisata.
Usaha hotel dapat dikategorikan sebagai usaha penyediaan akomodasi, yakni usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya, dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemaha, persinggahan caravan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.[12]
Sedangkan usaha travel dapat dikategorikan sebagai usaha jasa perjalanan wisata, yakni usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sedangkan usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemerasan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.[13]
Untuk dapat menyelenggarakan usaha tersebut, pengusaha pariwisata wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.[14] Perizinan usaha yang dimaksud ialah perizinan usaha berbasis risiko.[15]
Setiap pelaku usaha yang berdasarkan hasil pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap perizinan berusaha di sektor pariwisata, dikenakan sanksi administratif berupa:[16]
Peringatan, berupa teguran tertulis maksimal 3 kali;
Penghentian sementara kegiatan berusaha, jika tidak mematuhi peringatan;
Pengenaan denda administratif, jika tidak mematuhi penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
Pencabutan perizinan berusaha, berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil pengawasan.
Sanksi administratif tersebut dikenakan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, gubernur, bupati/walikota, administrator KEK, atau kepada Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[17]
Upaya Hukum
Menjawab pertanyaan Anda, upaya pertama kali yang dapat ditempuh adalah memastikan perizinan sebagaimana penjelasan kami di atas. Jika tidak memenuhi dan/atau melanggar perizinan, Anda dapat mengadukannya kepada instansi terkait.
Adapun penghentian atau penutupan usaha hotel tersebut bukanlah kewenangan masyarakat, melainkan menjadi kewenangan instansi yang memberikan izin.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.