Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia

Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia
Inna Junaenah, S.H., M.H.Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad
Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia

PERTANYAAN

1.Bagaimana kedudukan desa dikaitkan dengan TAP MPR No.3 Tahun 2000? 2. Dengan lahirnya UU 6 Tahun 2014 tentang Desa, apakah seorang Kepala Desa menjadi Pejabat Negara?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Pertanyaan pertama sebenarnya terkait dengan kedudukan Desa dalam konteks pembentuk peraturan perundang-undangan (peraturan desa) pada masa Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 yang berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 sudah tidak berlaku pada saat telah diatur dengan undang-undang (semenjak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Untuk memahami hal tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan kedudukan desa secara umum.

     

    Memosisikan kedudukan desa dan Kepala Desa dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan tampaknya lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan. Faktor utama yaitu bahwa persepsi mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat dikuatkan oleh penjelasan Bagir Manan bahwa karena konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua bidang hukum, belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu merupakan lembaga yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).

     

    Adapun di dalamnya terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal (kekuasaan pemerintah Pusat dan Daerah), terbatas pada satuan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan dalam konstitusi (Anwar: 1999). UUD 1945 sendiri secara eksplist mengatur satuan pemerintahan yang mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan perlu dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, selain tentu saja struktur ketatanegaraan secara fundamental, pembagian wewenang di antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan jaminan hak asasi manusia (Sri Soemantri: 2006).

    KLINIK TERKAIT

    Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan

    Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan
     

    Mengenai kedudukan Desa (atau nama lainnya), Rosjidi Ranggawidjaja menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang­Undang (Ranggawidjaja: 2013).

     

    Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Dalam Undang-Undang Desa yang baru (UU No. 6 Tahun 2014), diartikan bahwa:

    “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1).

     
    Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut:

    “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.

     “Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota” (Pasal 5).

     

    Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c) sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah.

     

    Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang ditetapkan oleh… kepala desa atau pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 ayat (1)).

     

    Perlu dicatat pula bahwa karakter Desa sekarang berbeda dengan apa yang diartikan dahulu oleh UU No. 19 Tahun 1965. Dikatakan bahwa “Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri” (vide Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1965).

     

    Mengutip pendapat Bagir Manan, Rosjidi Ranggawidjaja menegaskan bahwa Desa di masa lampau merupakan komunitas sosial, keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Rosjidi Ranggawjidjaja melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa yang ada sekarang adalah kelanjutan dari Pemerintahan Desa jaman dahulu, hanya saja Pemerintahan Desa sekarang sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa yang mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai inlandsche gemeenten, sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang lebih tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).

     

    UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih mengakui keberadaan pemerintahan desa tetapi juga tidak bermaksud untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan desa ini dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) dapat dilihat dari adanya kebolehan untuk mengubah status desa menjadi kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang ini seolah-olah menempatkan kedudukan kelurahan seolah-olah lebih baik dari desa yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat tertentu berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dll apabila suatu desa hendak diubah statusnya menjadi kelurahan. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi atau sentralisasi.

     

    Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desaberlanjut hingga UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama dilihat dari kedudukan serta pengisian jabatan Kepala Desa dan penghasilan Pemerintah Desa. Pertama, kedudukan Kepala Desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa (Pasal 34 (1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

     

    Kedua, pelantikan tersebut linier dengan penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)). Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).

     

    Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan Desa secara formal tidak lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.

     

    Pengaturan baru tentang Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan status kepala desa menjadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara pejabat negara dan pejabat pemerintahan dapat merujuk artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan. Semoga bermanfaat.

     
     
     
    Dasar Hukum

    1.    Undang-Undang Dasar 1945

    2.    Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000

    3.    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia

    4.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

    5.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    6.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    7.    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

     
    Referensi:

    1.    Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.

    2.    Manan, Bagir. 2009. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia.

    3.    Ranggawidjaja, Rosjidi. 2013. "Pasal 18B ayat (2)”, dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad.

    4.    Soemantri, Sri. 2006. Sistem dan Prosedur Konstitusi. Bandung: Alumni.

     

        

    Tags

    kepala desa
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!