Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perusahaan Ingin Mendapatkan Pembiayaan dari Luar Negeri? Ini Syaratnya

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Perusahaan Ingin Mendapatkan Pembiayaan dari Luar Negeri? Ini Syaratnya

Perusahaan Ingin Mendapatkan Pembiayaan dari Luar Negeri? Ini Syaratnya
Dicky Mirdiyan, S.H., LL.M.Hutauruk Mirdiyan Roem & Partners
Hutauruk Mirdiyan Roem & Partners
Bacaan 10 Menit
Perusahaan Ingin Mendapatkan Pembiayaan dari Luar Negeri? Ini Syaratnya

PERTANYAAN

Bagaimana prosedur PT PMA bukan bank (sebut saja PT PMA A) untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri? Apa syarat PT PMA A tersebut sebelum menerima pembiayaan dari luar negeri? Bagaimana dasar hukumnya? Adakah sanksi jika syarat tidak dipenuhi PT PMA A?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada prinsipnya, PT PMA dapat menerima pembiayaan dari kreditur luar negeri dengan terlebih dahulu melakukan aksi korporasi. Kemudian PT PMA juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas Lalu Lintas Devisa (“LLD”) dan Utang Luar Negeri (“ULN”), serta menerapkan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank.

    Apa bunyi dasar hukum selengkapnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Dua Cara Mendapatkan Dana dari Luar Negeri yang dibuat oleh Leonardus Agatha P., S.H. / Abraham Adeputra P. Lambe,S.H.,M.H. dari ANR Law Firm dan dipublikasikan pada Senin, 22 September 2014.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Modal Dasar PT PMA

    Modal Dasar PT PMA

    Dasar Hukum Penanaman Modal Asing

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu definisi dari Penanaman Modal Asing (“PMA”), yakni kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan pemodal dalam negeri.[1] Selanjutnya, penanam modal asing adalah perseorangan Warga Negara Asing (“WNA”), badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.[2] Berdasarkan definisi tersebut, maka PT PMA A merupakan Perseroan Terbatas (“PT”) yang melakukan kegiatan menanam modal untuk kegiatan usaha di wilayah Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing baik sendiri maupun bersama-sama dengan pemodal dalam negeri.

    Baca juga: Baru! Ini Aturan Pendirian PT PMA di Indonesia

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dasar Hukum Utang Luar Negeri

    Kemudian, berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa PT PMA A akan menerima pembiayaan dari kreditur luar negeri melalui Perjanjian Pembiayaan atau Financing Agreement. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan definisi Utang Luar Negeri (“ULN”), yaitu utang penduduk kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.[3]

    Selanjutnya, penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.[4] Berdasarkan ketentuan tersebut, pembiayaan dari kreditur luar negeri yang diterima oleh PT PMA A sebagai badan hukum yang diasumsikan telah berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, dapat diklasifikasikan sebagai ULN.

    Lebih lanjut, ketentuan mengenai ULN secara umum diatur oleh Pasal 3 ayat (1) Keppres 59/1972 sebagai berikut:

    Badan Usaha Negara, Badan Usaha Daerah dan Perusahaan Swasta hanya dapat dibenarkan untuk menerima tawaran kredit luar-negeri apabila tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik Negara, untuk pembayarannya kembali dan atau tidak menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi Pemerintah Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar-negeri yang bersangkutan.

    Berdasarkan pasal di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya, PT PMA A selaku perusahaan swasta dapat menerima ULN dari kreditur luar negeri sepanjang tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik negara, untuk pembayarannya kembali dan/atau tidak menimbulkan kewajiban apapun bagi Pemerintah Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar negeri.

    Persyaratan PT PMA Sebelum Menerima ULN

    Sebelum PT PMA A menerima ULN dari kreditur luar negeri, berdasarkan praktik kami, PT PMA A sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu untuk melakukan aksi korporasi yang disyaratkan dalam akta pendirian atau anggaran dasar dari PT PMA dan UU 40/2007 serta perubahannya, agar penerimaan ULN dari kreditur luar negeri dapat dilaksanakan secara patut dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

    Secara umum terdapat 2 (dua) aksi korporasi yang perlu dilakukan oleh PT PMA sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri, yaitu:

    1. Persetujuan Dewan Komisaris

    Dalam akta pendirian atau anggaran dasar suatu PT PMA dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.[5] Menurut M. Yahya Harahap, pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi memiliki maksud dan cara sebagai berikut:[6]

    1. pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi dilaksanakan secara tertulis;
    2. pemberian persetujuan tertulis kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, tidak bersifat umum untuk segala jenis perbuatan hukum;
    3. pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi bukan dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan maupun pemberian nasihat; dan
    4. jika akta pendirian (anggaran dasar) mengatur pemberian kewenangan kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksi, maka sebaiknya ditentukan persyaratan pemberian persetujuan itu.

    Berdasarkan praktik kami, umumnya akta pendirian atau anggaran dasar suatu PT PMA mengatur tindakan Direksi yang berupa meminjam uang atas nama PT PMA dan harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Komisaris. Oleh karenanya, apabila akta pendirian PT PMA A mensyaratkan Direksi PT PMA A untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri, maka Direksi PT PMA A harus memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris PT PMA A terlebih dahulu sebelum menyepakati dan menandatangani Financing Agreement untuk menerima ULN dari kreditur luar negeri.

    1. RUPS atau Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham PT PMA

    Pada dasarnya, PT PMA dapat melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) lainnya (pada praktik disebut RUPS luar biasa) yang diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan,[7] yang dalam hal ini umumnya juga meliputi penerimaan ULN dari kreditur luar negeri. Penyelenggaraan RUPS luar biasa perlu disetujui oleh Dewan Komisaris PT PMA, kemudian, Direksi PT PMA menyelenggarakan RUPS luar biasa dengan didahului pemanggilan RUPS, serta dapat dilakukan atas permintaan:[8]

    1. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
    2. Dewan Komisaris. 

    Patut diperhatikan oleh PT PMA A, agar RUPS luar biasa dapat dilangsungkan untuk menyetujui penerimaan ULN dari kreditur luar negeri, RUPS luar biasa harus dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar PT PMA A menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.[9] Lebih lanjut, keputusan RUPS luar biasa untuk menyetujui penerimaan ULN dari kreditur luar negeri harus diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.[10]

    Selain RUPS luar biasa, para pemegang saham PT PMA juga dapat mengambil keputusan diluar RUPS yang mengikat untuk menerima ULN dari kreditur luar negeri, dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul penerimaan ULN yang disepakati.[11] Pengambilan keputusan diluar RUPS dalam praktik kami dikenal dengan istilah keputusan sirkuler.

    Kewajiban PT PMA dalam Pengelolaan ULN

    Kewajiban yang perlu dipenuhi oleh PT PMA  juga meliputi kewajiban yang berkaitan dengan Lalu Lintas Devisa (“LLD”) dan penerapan prinsip kehati-hatian. Berikut adalah penjelasannya.

    1. Kegiatan Lalu Lintas Devisa

    LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk.[12] Berdasarkan definisi tersebut, ULN yang akan diterima oleh PT PMA A dari kreditur luar negeri merupakan bagian dari LLD. Oleh karenanya, PT PMA A selaku pihak yang melakukan kegiatan LLD wajib memenuhi persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan LLD sebagaimana diatur dalam PBI 17/23/2015.

    Sebagai contoh, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) PBI 17/23/2015, setiap penarikan Devisa Utang Luar Negeri (“DULN”) wajib diterima oleh PT PMA A selaku debitur ULN melalui Bank Devisa. Kemudian, PT PMA A selaku debitur ULN yang menerima DULN harus menyampaikan informasi penerimaan DULN kepada Bank Devisa secara akurat, serta wajib melaporkan DULN yang diterima kepada Bank Indonesia.[13]

    Sebagai informasi, apabila Debitur ULN melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) PBI 17/23/2015, maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% dari setiap nilai penarikan ULN yang tidak diterima melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50 juta.[14] Selain itu, Debitur ULN juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan pemberitahuan kepada kreditor yang bersangkutan di luar negeri, dan/atau instansi yang berwenang.[15]

    2. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian

    Selain memenuhi kewajiban dalam kegiatan LLD, PT PMA A juga harus memenuhi persyaratan berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PBI 16/21/2014, prinsip kehati-hatian meliputi pemenuhan:

    1. Rasio Lindung Nilai;
    2. Rasio Likuiditas; dan
    3. Peringkat Utang atau Credit Rating.

    Anda dapat membaca penjelasan selengkapnya mengenai prinsip kehati-hatian dalam ULN korporasi non-bank dalam Pasal 2 s.d. Pasal 5 PBI 16/21/2014.

    Apabila PT PMA A selaku korporasi non-bank melanggar kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian, maka PT PMA A dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.[16] Selanjutnya, Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi administratif kepada pihak-pihak terkait antara lain:[17]

    1. kreditur yang bersangkutan di luar negeri;
    2. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), bagi korporasi BUMN;
    3. Kementerian Keuangan q. Direktorat Jenderal Pajak;
    4. Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”); dan/atau
    5. Bursa Efek Indonesia (“BEI”), bagi korporasi publik yang tercatat di BEI.

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PT PMA A perlu melakukan aksi korporasi terlebih dahulu baik berupa persetujuan Dewan Komisaris terhadap tindakan hukum Direksi maupun RUPS atau keputusan sirkuler dari para pemegang saham PT PMA A sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri. Kemudian, pelaksanaan RUPS oleh PT PMA A dalam rangka menyetujui penerimaan ULN menjadi penting, agar penerimaan ULN dapat dilaksanakan secara patut dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum. Selain itu, PT PMA A juga wajib memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan LLD dan menerapkan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank.

    Dinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;
    2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
    3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    5. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1991 tentang Penerimaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerbitan Jaminan Bank untuk Penerimaan Pinjaman Luar Negeri oleh Bank Milik Negara dan Bank Pembangunan Daerah yang ditetapkan Sebagai Bank Devisa;
    6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 Tahun 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/4/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/Pbi/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank;
    7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

    Referensi:

    M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.


    [1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”).

    [2] Pasal 1 angka 6 UU 25/2007.

    [3] Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 Tahun 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank (“PBI 16/21/2014”)

    [4] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (“UU 24/1999”).

    [5] Pasal 117 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”).

    [6] M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 467.

    [7] Pasal 78 ayat (4) UU 40/2007.

    [8] Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UU 40/2007.

    [9] Pasal 86 ayat (1) UU 40/2007.

    [10] Pasal 87 ayat (1) UU 40/2007.

    [11] Pasal 91 UU 40/2007.

    [12] Pasal 1 angka 1 UU 24/1999.

    [13] Pasal 13 ayat (2) dan (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (“PBI 17/23/2015”).

    [14] Pasal 21 ayat (1) PBI 17/23/2015.

    [15] Pasal 21 ayat (2) PBI 17/23/2015.

    [16] Pasal 12 ayat (1) PBI 16/21/2014.

    [17] Pasal 12 ayat (2) PBI 16/21 /2014.

    Tags

    penanaman modal asing
    pma

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya

    22 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!