Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya

Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya

PERTANYAAN

Apakah anak hasil zina berhak mendapat warisan dari orang tuanya? Bagaimana aturan hak waris anak luar nikah di Indonesia?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, anak zina merupakan anak yang lahir dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, saat salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan lain.

    Lantas, apakah anak hasil zina berhak mendapat warisan dari orang tua biologisnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hak Waris Anak Zina yang dibuat oleh Lezetia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada pada Selasa 1 April 2014.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengertian Anak Hasil Zina

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan anak hasil zina atau anak zina. Menurut Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 115), anak zina merupakan anak yang lahir dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, saat salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan lain.

    Kemudian, menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya berjudul Hukum Kewarisan Islam (hal. 148), anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah, dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain.

    Kemudian, dalam Kitab Ahkamul-Mawaris fi al-Fiqhi al-Islami, disebutkan bahwa anak zina adalah anak yang lahir bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i atau dengan kata lain buah dari hubungan haram antara laki- laki dan perempuan.[1]

    Sedangkan berdasarkan Pasal 283  KUH Perdata, anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal 273 KUH Perdata mengenai anak penodaan darah.

    Namun, dalam KHI tidak ada istilah anak zina, melainkan “anak yang lahir di luar perkawinan” yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.[2]

    Sebagai informasi, pengertian anak zina berbeda dengan anak luar kawin. Disarikan dari Pengertian Anak Sah dan Anak Luar Kawin, anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang tuanya. Pasal 272 KUH Perdata menguraikan bahwa:

    Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri.

    Dari pasal di atas, dapat kami simpulkan bahwa anak luar kawin menurut pengaturan KUH Perdata adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan kedua orang tua. Dalam hal ini, kedua orang tuanya tidak ada yang terikat dengan pernikahan dengan orang lain. Sedangkan anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, saat salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan lain yang sah.

    Jaminan Nafkah Anak Zina dalam KUH Perdata

    Dalam konteks hak waris, KUH Perdata memberikan 3 penggolongan terhadap anak-anak, yaitu:[3]

    1. Anak sah, yaitu seorang anak yang lahir di dalam suatu perkawinan;
    2. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak itu saja, dan apabila ayah dan ibunya kawin, maka menjadi anak sah; dan
    3. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi tidak diakui oleh ayah maupun ibunya. Anak ini menurut hukum tidak mempunyai ayah dan ibu, karena merupakan anak luar kawin yang tidak diakui, sehingga tidak mempunyai Keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya.

    Berdasarkan ketentuan dalam KUH Perdata, anak zina tidak mendapat warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, anak zina tetap mendapatkan nafkah seperlunya dari orang tuanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 867 KUH Perdata sebagai berikut:

    Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah. Undang-undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.

    Adapun dalam Pasal 869 KUH Perdata diatur bila bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunya hak lebih lanjut dalam menuntut warisan dari bapak atau ibunya.

    Hak Waris Anak yang Lahir di Luar Perkawinan dalam KHI

    Sebagaimana dijelaskan, dalam KHI istilah yang dikenal adalah “anak yang lahir di luar perkawinan” yang menurut Pasal 100 KHI hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarganya ibunya.

    Hal serupa juga ditegaskan kembali dalam Pasal 186 KHI yaitu:

    Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

    Kemudian, disarikan dari artikel Fatwa MUI Juga Melindungi Anak Hasil Perzinaan, berdasarkan fatwa yang dibuat pada 10 Maret 2012, setidaknya ada 6 poin ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI yang dipimpin oleh Prof. Hasanuddin AF, yaitu:

    1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya;
    2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya;
    3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya;
    4. Pezina dikenakan hukuman hadd (jenis hukuman yang bentuk dan kadarnya sudah diatur dalam Al Qur’an), untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl);
    5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir (jenis dan hukuman yang diberikan oleh pihak yang berwenang) terhadap lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
      1. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
      2. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah;
    6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

    Dalam fatwa ini, MUI memang menyatakan bahwa anak hasil zina tak berhak menjadi ahli waris ayah biologisnya, tetapi ayah biologis itu tetap harus ‘bertanggung jawab’ terhadap anaknya, dengan adanya hukuman kepada ayah biologisnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya itu. Si ayah juga bisa dihukum dengan memberikan sejumlah harta (melalui wasiat wajibah) ketika ia meninggal dunia.

    Hak Waris Anak yang Lahir di Luar Perkawinan dalam UU Perkawinan

    Lantas, bagaimana aturan hak waris anak luar kawin di Indonesia? Pada dasarnya jika merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan dan perubahannya, tidak dibedakan mengenai anak zina dan anak luar kawin. Yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanyalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    Namun, Putusan MK 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur mengenai pengakuan hubungan keperdataan antara anak luar kawin dan ayahnya, sebagai berikut:

    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

    Melihat pada putusan tersebut, berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan (dalam putusan tidak dibedakan antara anak zina dengan anak luar kawin, seperti pada KUH Perdata) dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Jika dapat dibuktikan bahwa memang orang tersebut adalah ayahnya, anak tersebut dapat mewaris dari si ayah biologis. Akan tetapi perlu diingat ketentuan dalam Pasal 285 KUH Perdata, bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayah biologisnya, sehingga timbul hubungan hukum antara si ayah dengan anak luar kawinnya tersebut, pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung dalam hal pewarisan.

    Baca juga: Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut?

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

    Referensi:

    1. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004;
    2. Imam Supriyadi. Komparasi anak Zina dan Anak Angkat Menurut BW dan Hukum Islam. The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law, Vol. 1, No. 1, 2020;
    3. Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung: Kaifa, 2014;
    4. Muhammad Roully Parsaulian Lubis. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasca Lahirnya Putusan MK RI No. 46/PUU-VII/2010 Terhadap Ibu Kandung dan Ayah Biologis. Premise Law Journal, Vol. 10, 2016.

    [1] Imam Supriyadi. Komparasi anak Zina dan Anak Angkat Menurut BW dan Hukum Islam. The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law , Vol. 1, No. 1, 2020, hal. 18.

    [2] Penjelasan Pasal 149-185 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    [3] Muhammad Roully Parsaulian Lubis. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasca Lahirnya Putusan MK RI No. 46/PUU-VII/2010 Terhadap Ibu Kandung dan Ayah Biologis. Premise Law Journal, Vol. 10, 2016, hal. 5.

    Tags

    ahli waris
    waris

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!