Saya punya anak perempuan. Tadi sekitar jam 3 sore mau beli bakso. Adik istri saya bernama Bambang mau titip. Tetapi anak saya tidak mau. Akhirnya Bambang memaksa. Anak saya tetap tidak mau. Bambang pun membentak dengan teriakan keras pada anak saya dalam bahasa Jawa, kalimatnya begini "gak gelem tak kaplok lho!" Ini bagaimana proses hukumnya? Terima kasih banyak atas jawabannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang samayang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pernahdipublikasikan padaSelasa, 17 Juni 2014.
Sikap memperlakukan anak Anda dengan kata-kata bentakan dan teriakan keras yang berisi ancaman pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap salah satu hak anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu telah secara jelas juga diatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Apa sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perkataan "gak gelem tak kaplok lho!" atau yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “tidak mau, saya pukul lho!” bisa dikategorikan sebagai ancaman kekerasan yang ditujukan oleh adik istri Anda kepada anak Anda.
Meski demikian, kami menyarankan agar permasalahan dalam hubungan keluarga ini dapat diselesaikan secara damai tanpa harus menempuh jalur hukum.
Sikap memperlakukan anak Anda dengan kata-kata bentakan dan teriakan keras yang berisi ancaman pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap salah satu hak anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[1]
Masih berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak berbunyi:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.diskriminasi;
b.eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.penelantaran;
d.kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.ketidakadilan;
f.dan perlakuan salah lainnya.
Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Sedangkan perlakuan kekerasan dan penganiayaan misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.[2]
Ancaman Pidana
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.[3]
Bagi yang melanggarnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Namun, dalam hal anak luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. Sementara jika anak mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.[4]
Analisis
Sikap adik istri Anda yang berkata “gak gelem tak kaplok lho” kepada anak Anda pada dasarnya mengandung unsur ancaman kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam UU 35/2014. Sikap tersebut juga telah merampas hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan.
Sebelum Anda membawa masalah ini ke ranah hukum, kami menyarankan agar Anda menyelesaikannya dengan adik istri Anda secara kekeluargaan dengan menyatakan bahwa Anda keberatan jika anak Anda diperlakukan seperti itu.
Langkah yang Dapat Dilakukan
Adapun langkah hukum yang dapat Anda lakukan adalah dengan menyampaikan laporan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini kepolisian atau menghubungi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dengan UU Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh UU 35/2014 dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.[5]
1.melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak;
2.memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak;
3.mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak;
4.menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak;
5.melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak;
6.melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang perlindungan anak; dan
7.memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak.
Jadi, Anda sebagai orang tua yang dirugikan atas perlakuan ancaman kekerasan dari adik istri Anda kepada anak Anda dapat mengadukan tindakan tersebut kepada KPAI.
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 164/Pid.Sus/2015/PN Byl. Salah satu terdakwa Terdakwa, yakni Terdakwa III kesal kepada saksi korban yang berusia 14 tahun (usia anak) yang tidak kunjung mengakui pencurian TV dan sejumlah uang di rumah orang tua Terdakwa III. Terdakwa III mengeluarkan dan menodongkan pistol airsoft gun dengan cara menempelkan laras pistol ke arah dahi/ kening dan wajah saksi korban yang saat itu tidak mengaku, “Nek ora ngaku, pecah polomu”, yang artinya “Jika tidak mengaku, pecah kepalamu.”
Saksi korban juga dipukul dan ditampar serta diancam dengan menggunakan senjata air softgun oleh Terdakwa IV dan Terdakwa V. Akibat perbuatan para terdakwa, saksi korban mengalami luka di bawah mata kiri ada lebam, berwarna biru kehitaman.
Akhirnya hakim menyatakan Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III, Terdakwa IV, Terdakwa V telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta Melakukan Kekerasan terhadap Anak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014.