Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

4 Alasan Penundaan Eksekusi Pidana Mati

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

4 Alasan Penundaan Eksekusi Pidana Mati

4 Alasan Penundaan Eksekusi Pidana Mati
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
4 Alasan Penundaan Eksekusi Pidana Mati

PERTANYAAN

Kenapa hukuman mati tidak langsung dilakukan? Apa saja alasan penundaan eksekusi pidana mati?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Hukuman mati atau pidana mati merupakan salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun demikian, terpidana memiliki hak untuk melakukan upaya hukum dan kondisi lain sehingga pidana mati tidak langsung dapat dilaksanakan meski putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Apa saja alasan-alasan penundaan eksekusi pidana mati tersebut?                    

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Alasan-Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 12 Agustus 2014.

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana

    Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Alasan Upaya Hukum dan Grasi

    Hukuman mati atau pidana mati merupakan salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[1] Artinya, syarat dilaksanakannya eksekusi pidana mati yaitu adanya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Terkait dengan kapankah putusan pengadilan itu berkekuatan hukum tetap, dapat disimak dalam artikel Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap?

    Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung[2] atas dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP salah satunya adalah keadaan baru atau novum. Namun demikian, untuk menemukan novum itu sendiri tidak bisa dipastikan jangka waktunya.[3]

    Selain peninjauan kembali, terpidana juga berhak untuk mengajukan grasi atau pengampunan berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap terpidana yang diberikan oleh Presiden.[4]

    Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Grasi, pelaksanaan eksekusi pidana mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan grasi dari terpidana tersebut.

    Hal ini juga ditegaskan dalam UU 1/2023 tentang KUHP yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan[5] yaitu tahun 2026 bahwa permohonan grasi pada dasarnya tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan, kecuali dalam hal putusan pidana mati.[6] Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden.[7]

    Sebagai informasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap[8] dan tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu.[9]

    Pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi menurut Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015 menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati. Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi tentang pembatasan pengajuan permohonan grasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, dalam pertimbangan MK, jaksa selaku eksekutor pidana mati perlu menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut agar tidak ada penundaan eksekusi pidana mati (hal. 79 dan 81).

    Dengan demikian, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun eksekusi hukuman mati tidak serta merta dapat dilaksanakan mengingat terpidana berhak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan grasi yang jangka waktunya tidak dipastikan atau tidak ditentukan.

     

    Alasan Terpidana Sedang Hamil

    Alasan penundaan eksekusi pidana mati selanjutnya adalah terpidana mati yang bersangkutan sedang hamil. Hal ini disebut dalam Pasal 7 PNPS 2/1964 yang berbunyi:

    Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil.

    Hal ini juga diatur di dalam UU 1/2023 bahwa pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa itu sembuh.[10]

     

    Alasan Pemenuhan Hak Terpidana atas Permintaan Terakhir

    Penundaan eksekusi pidana mati juga dapat dilakukan karena faktor lain, yaitu perihal permintaan terpidana. Dalam Pasal 6 ayat (2) PNPS 2/1964 dikatakan bahwa apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, terpidana memiliki kesempatan mengajukan permintaan terakhir, misalnya terpidana ingin bertemu keluarga, sementara keluarganya sedang sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi.

     

    Alasan Masa Percobaan Pidana Mati dalam UU 1/2023

    Sebagai tambahan informasi, dalam ketentuan UU 1/2023 untuk menjatuhkan pidana mati hakim harus mencantumkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, atau peran terdakwa dalam tindak pidana dalam putusan pengadilan. Tenggang waktu percobaan 10 tahun tersebut dimulai sehari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.[11]

    Jika dalam masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, apabila terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan tersebut, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.[12]

    Dengan demikian, dalam KUHP yang baru atau UU 1/2023 memberikan ketentuan mengenai penundaan eksekusi hukuman mati dengan adanya masa percobaan selama 10 tahun.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:         

    1. Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati;

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015.


    [1] Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati

    [2] Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)

    [3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015, hal. 79

    [4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

    [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [6] Pasal 62 ayat (1) UU 1/2023

    [7] Pasal 99 ayat (1) UU 1/2023

    [8] Pasal 2 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

    [9] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015, hal. 81

    [10] Pasal 99 ayat (4) UU 1/2023

    [11] Pasal 100 ayat (1), (2), dan (3) UU 1/2023

    [12] Pasal 100 ayat (4) dan (6) UU 1/2023

    Tags

    eksekusi
    hukum pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!