Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif dalam UU Hak Cipta yang Baru

Share
copy-paste Share Icon
Kekayaan Intelektual

Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif dalam UU Hak Cipta yang Baru

Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif dalam UU Hak Cipta yang Baru
Risa Amrikasari S.S., S.H., M.H.IPAS Institute
IPAS Institute
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif dalam UU Hak Cipta yang Baru

PERTANYAAN

Dengan ditetapkannya UU Hak Cipta Baru, bagaimana posisi YKCI, WAMI dll sebagai lembaga penarik royalti selama ini? Lembaga Manajemen Kolektif harus mendapat izin dulu dari Menteri, apakah YKCI, WAMI dll dapat menarik royalti sekarang walaupun belum ada izin dari Menteri? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Sebenarnya pertanyaan mengenai bagaimana kedudukan dari sebuah Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia sudah seringkali dimunculkan baik oleh masyarakat awam ataupun oleh masyarakat yang sehari-hari bersentuhan dengan karya-karya seni yang memiliki hak cipta. Ada juga muncul kebingungan yang lucu menurut saya, ketika saya beberapa kali mendengar pertanyaan bagaimana cara mendaftarkan hak ciptanya ke YKCI! Ternyata Ditjen HKI kalah tenar dengan YKCI.

     

    Banyak pula yang merasa bahwa Lembaga Manajemen Kolektif sebenarnya tidak punya wewenang apapun untuk “mengutip” keuntungan dari pihak yang mempergunakan ciptaan orang lain karena merasa tak ada urusan dengan Lembaga Manajemen Kolektif. 

     

    Sebenarnya posisi Lembaga Manajemen Kolektif ini sangat membantu para Pencipta/Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait jika mereka telah berfungsi dengan baik dan negara mengakui keberadaan mereka. Istilah sederhananya, para Pencipta/Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait tak perlu repot-repot menjaga karya mereka karena akan ada lembaga yang membantu mengumpulkan royalti dari penggunaan secara komersial karya cipta mereka. 

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Lembaga Manajemen Kolektif Dibenarkan Secara Hukum?

    Apakah Lembaga Manajemen Kolektif Dibenarkan Secara Hukum?
     

    Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memang tidak merumuskan mengenai adanya Lembaga Manajemen Kolektif selain hanya menyebut wakil lembaga profesi. Lalu bagaimana dengan RUU Hak Cipta yang baru disahkan? Mari kita lihat.

     

    RUU Hak Cipta yang baru disahkan memang sepertinya berusaha memenuhi tuntutan masyarakat akan kejelasan posisi dan status Lembaga Manajemen Kolektif ini. Lihat saja, mulai dari Pasal 1 angka 22, Lembaga Manajemen Kolektif sudah ada dalam definisi. Dikatakan sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

     

    Kemudian, RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini juga memasukkan Bab khusus mengenai Lembaga Manajemen Kolektif pada Bab XII. Pengaturan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif ke dalam Undang-Undang ini yang mana dimaksudkan untuk memperjelas status hukum Lembaga Manajemen Kolektif, tentunya bagi banyak kalangan memang merupakan sebuah kemajuan yang berusaha diberikan oleh RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini. Sayangnya, pasal-pasal mengenai Lembaga Manajemen Kolektif yang ada pada RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini masih tidak jelas.

     

    Bab XII mengenai Lembaga Manajemen Kolektif memang mengatur mengenai bagaimana sebuah Lembaga Manajemen Kolektif harus beroperasi di Indonesia dengan persyaratan-persyaratannya.

     

    Pasal 87 mengatur bagaimana hubungan antara Pencipta/Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait, Lembaga Manajemen Kolektif, dan Pengguna. Berikut isi lengkap Pasal 87 RUU Hak Cipta yang baru disahkan:

     
    Pasal 87

    (1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.

    (2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.

    (3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.

    (4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.

     

    Dalam Pasal 88 diatur mengenai bagaimana sebuah Lembaga Manajemen Kolektif harus memiliki ijin dari Menteri untuk dapat beroperasi:

     
    Pasal 88

    (1) Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri.

    (2) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

    a.    berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;

    b.    mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;

    c.    memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;

    d.    bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan

    e.    mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.

    (3) Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.

     

    Jika kita melihat kedua pasal tersebut di atas, kelihatannya pasal-pasal tersebut sudah cukup baik, sampai kemudian muncul kata “nasional” pada Pasal 89 ayat (1) yang kemudian menghilang lagi pada ayat (2), (3), dan (4).

     
    Pasal 89

    (1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut:

    a.    kepentingan Pencipta; dan

    b.    kepentingan pemilik Hak Terkait.

    (2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.

    (3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.

    (4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.

     

    Kata “nasional” pada Pasal 89 ayat (1) ini tentu saja membuat tidak jelas jika pada Pasal 87 dan 88 diatur mengenai Lembaga Manajemen Kolektif dengan segala persyaratannya, akan tetapi seolah-olah melakukan penyempitan pada Pasal 89. Ini dapat diartikan bahwa nantinya paling lama dua tahun setelah Undang-Undang ini berlaku, maka hanya akan ada dua Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia. Saya menyebut paling lama dua tahun setelah Undang-Undang ini berlaku, karena pada Pasal 121 butir (g) Ketentuan Peralihan disebutkan sebagai berikut:

     

    “organisasi profesi atau lembaga sejenis dengan sebutan apapun yang telah ada yang tugas dan fungsinya menghimpun, mengelola, dan/atau mendistribusikan Royalti sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dan berubah menjadi Lembaga Manajamen Kolektif dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.”

     

    Pada banyak negara, pengaturan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif ini sudah menjadi bagian yang penting. Sebagian negara memegang kendali atau mengawasi Lembaga Manajamen Kolektif, sebagian negara juga ada yang memberikan keleluasan secara independen. China adalah salah satu negara yang memegang kendali atas Lembaga Manajemen Kolektif yang ada di negara tersebut. Campur tangan Pemerintah atau Negara dalam hal ini memang diperlukan untuk menghindari adanya praktek persaingan tidak sehat dan memberikan kepastian hukum akan status Lembaga Manajemen Kolektif itu sendiri.

     

    Jika RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini berupaya untuk memperjelas kedudukan dan status Lembaga Manajemen Kolektif secara hukum, maka yang saya tangkap adalah keinginan untuk membagi konsentrasi Lembaga Manajemen Kolektif menjadi dua bagian yang khusus tanpa harus memasukkan kata “nasional” yang membingungkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 89 ayat (1) tadi, yaitu:

    1.    Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan Pencipta/Pemegang Hak Cipta;

    2.    Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan Pemilik Hak Terkait. 

     

    Yang menjadikan Pasal 89 makin menjadi tidak jelas adalah ayat (3) yang menyatakan:

     

    Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.

     

    Pertanyaan yang sangat mendasar adalah “atas dasar apa sebuah Lembaga Manajemen Kolektif berhak mendapatkan royalti?”

     

    Sesuai dengan Pasal 1 angka 21, royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.

     

    Jika kemudian Pasal 89 menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif berhak atas bagian masing-masing, meski diikuti dengan kalimat “sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan”, tentunya hal ini sudah bertentangan dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang itu sendiri karena yang berhak untuk mendapatkan royalti berdasarkan Undang-Undang adalah Pencipta atau Pemilik Hak Terkait. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah “management fee” sebagaimana disebut dalam dokumen WIPO yang mengatakan:

     

    Management costs are paid for out of the royalties collected. With the rights of public performance and broadcasting—unlike recording rights—the practice is for deductions to be confined to actual, genuine expenses. The percentage of deduction for expenses therefore varies from year to year. Deductions that do not exceed 30 per cent are considered acceptable in the first years of a newly born authors’ society in developing countries; rates have been following a downward trend in recent years. In European collective management organizations there is an average deduction of around 15 per cent. (The Importance of Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO/CR/KRT/05/4, Sudan, January 2005).

     

    Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana posisi YKCI, WAMI, dan lain-lain sebagai lembaga penarik royalti selama ini dengan ditetapkannya RUU Hak Cipta yang baru disahkan, tentunya sesuai dengan bunyi yang ada dalam Undang-Undang, jika Lembaga Manajemen Kolektif tersebut masih ingin beroperasi, mereka harus memenuhi persyaratan yang ada pada Undang-Undang yang baru. 

     

    Pasal 88 ayat (1) RUU Hak Cipta yang baru disahkan menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri dan ayat (3) menyebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti. Akan tetapi, mengingat RUU Hak Cipta yang baru disahkan itu sendiri tidak jelas, maka kita berharap bahwa Peraturan Menteri yang akan mengatur mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif dapat segera diterbitkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 93.

     
    Pasal 93

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif diatur dengan Peraturan Menteri.

     

    Lembaga manajemen kolektif seperti YKCI, WAMI, dan lain-lain itu tidak serta merta harus berhenti beroperasi karena belum memiliki ijin operasional dari Menteri, karena sesuai dengan Ketentuan Peralihan, organisasi profesi atau lembaga sejenis dengan sebutan apapun yang telah ada yang tugas dan fungsinya menghimpun, mengelola, dan/atau mendistribusikan Royalti sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dan berubah menjadi Lembaga Manajamen Kolektif dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

     
    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Hak Cipta 2014 (RUU Hak Cipta Draft Final). 

    Tags

    lembaga manajemen kolektif
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    12 Apr 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!