Apakah tersangka pemalsu surat setoran pajak (SSP) dapat dikenakan Pasal 263 dan 264 KUHP? Atau apakah ada pasal dalam UU KTCP yang mengatur hal tersebut? Karena sejauh ini, kasus yang saya temui, pihak kepolisian menggunakan Pasal 263 dan 264 KUHP.
Dengan kata lain, wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan SSP. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) dan (1a) UU 28/2007 yang berbunyi:
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Dari sini kita bisa ketahui bahwa SSP merupakan bukti pembayaran suatu hal, yakni pembayaran pajak. Jika mengacu pada istilah “bukti” di sini, maka SSP merupakan bukti yang jika dipalsukan, pelakunya dapat dijerat pidana atas dasar tindak pidana pemalsuan surat. Ketentuan pidananya telah disebut dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, mengenai Pasal 264 KUHP yang Anda sebutkan bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1.akta-akta otentik;
2.surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3.surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4.talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5.surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukanseolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Menurut hemat kami, jika menggunakan KUHP, akan lebih sesuai jika menggunakan Pasal 263 KUHP.
Mengenai Pasal 263 KUHP, R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya (hal. 195). Surat yang dipalsukan itu harus salah satunya adalah surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa.
Anda sayangnya kurang memberikan keterangan lebih lanjut bagaimana pemalsuan SSP itu dilakukan. Akan tetapi, penjelasan lebih jauh soal pasal pemalsuan dokumen dan bentuk-bentuknya dapat Anda simak dalam artikel Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen.
Jadi, mengacu pada hal-hal di atas, menurut hemat kami, polisi atau aparat penegak hukum lainnya yang menerapkan Pasal 263 KUHP sebagai dasar hukum pemalsuan SSP tidak dapat disalahkan. Hal ini karena arti SSP itu sendiri telah sesuai dengan surat yang dimaksud dalam pasal di atas, yakni salah satunya adalah pemalsuan surat yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, yang mana dalam konteks yang kita bahas adalah SSP sebagai bukti pembayaran atau penyetoran pajak.
Namun kami kita juga perlu melihat dari sisi asas hukum, yakni asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Asas ini merupakan salah satu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Dengan mengacu pada asas ini, sepatutnya aparat penegak hukum lebih menerapkan UU KUP sebagai aturan yang khusus daripada KUHP sebagai aturan yang umum. Penjelasan lebih lanjut soal asas hukum ini dapat Anda simak dalam artikel Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis.
Menjawab pertanyaan Anda lainnya, ada ketentuan pidana dalam UU KUP soal pemalsuan bukti pembayaran pajak, yakni dalam Pasal 39A huruf a UU 28/2007 yang menyatakan bahwa setiap orang menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.