Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Pidana Jika Memalsukan Surat Setoran Pajak

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jerat Pidana Jika Memalsukan Surat Setoran Pajak

Jerat Pidana Jika Memalsukan Surat Setoran Pajak
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jerat Pidana Jika Memalsukan Surat Setoran Pajak

PERTANYAAN

Apakah tersangka pemalsu surat setoran pajak (SSP) dapat dikenakan Pasal 263 dan 264 KUHP? Atau apakah ada pasal dalam UU KTCP yang mengatur hal tersebut? Karena sejauh ini, kasus yang saya temui, pihak kepolisian menggunakan Pasal 263 dan 264 KUHP.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     
    Intisari:
     
     

    Surat Setoran Pajak (“SSP”) merupakan surat bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang jika dipalsukan, maka pelakunya dapat dijerat pidana berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang pemalsuan surat. Namun, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”) pada dasarnya juga telah mengatur soal ketentuan pidana bagi pemalsu bukti setoran pajak, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 39A huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan mana yang diberlakukan?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     
     
     
    Ulasan:
     

    Kami asumsikan bahwa UU KTCP yang Anda maksud di sini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”) yang telah diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“PERPPU 5/2008”) yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (“UU 16/2009”).

     

    Surat Setoran Pajak (“SSP”) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”).

    KLINIK TERKAIT

    Cara Menghitung Pajak Penghasilan untuk Pegawai Lajang dan Menikah

    Cara Menghitung Pajak Penghasilan untuk Pegawai Lajang dan Menikah
     

    Dengan kata lain, wajib pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan SSP. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) dan (1a) UU 28/2007 yang berbunyi:

     

    (1)      Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    (1a)    Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

     

    Dari sini kita bisa ketahui bahwa SSP merupakan bukti pembayaran suatu hal, yakni pembayaran pajak. Jika mengacu pada istilah “bukti” di sini, maka SSP merupakan bukti yang jika dipalsukan, pelakunya dapat dijerat pidana atas dasar tindak pidana pemalsuan surat. Ketentuan pidananya telah disebut dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

     

    (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

    (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

     

    Selanjutnya, mengenai Pasal 264 KUHP yang Anda sebutkan bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:

     

    (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

    1.    akta-akta otentik;

    2.    surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

    3.    surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:

    4.    talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

    5.    surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;

    (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

     

    Menurut hemat kami, jika menggunakan KUHP, akan lebih sesuai jika menggunakan Pasal 263 KUHP.

     

    Mengenai Pasal 263 KUHP, R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya (hal. 195). Surat yang dipalsukan itu harus salah satunya adalah surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa.

     

    Anda sayangnya kurang memberikan keterangan lebih lanjut bagaimana pemalsuan SSP itu dilakukan. Akan tetapi, penjelasan lebih jauh soal pasal pemalsuan dokumen dan bentuk-bentuknya dapat Anda simak dalam artikel Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen.

     

    Jadi, mengacu pada hal-hal di atas, menurut hemat kami, polisi atau aparat penegak hukum lainnya yang menerapkan Pasal 263 KUHP sebagai dasar hukum pemalsuan SSP tidak dapat disalahkan. Hal ini karena arti SSP itu sendiri telah sesuai dengan surat yang dimaksud dalam pasal di atas, yakni salah satunya adalah pemalsuan surat yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, yang mana dalam konteks yang kita bahas adalah SSP sebagai bukti pembayaran atau penyetoran pajak.

     

    Namun kami kita juga perlu melihat dari sisi asas hukum, yakni asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Asas ini merupakan salah satu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Dengan mengacu pada asas ini, sepatutnya aparat penegak hukum lebih menerapkan UU KUP sebagai aturan yang khusus daripada KUHP sebagai aturan yang umum. Penjelasan lebih lanjut soal asas hukum ini dapat Anda simak dalam artikel Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis.

     

    Menjawab pertanyaan Anda lainnya, ada ketentuan pidana dalam UU KUP soal pemalsuan bukti pembayaran pajak, yakni dalam Pasal 39A huruf a UU 28/2007 yang menyatakan bahwa setiap orang menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti  pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

     
    Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;

    3.    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

     
    Referensi:

    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.  

    Tags

    hukum
    pemalsuan surat

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!