KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Adakah Aturan yang Melarang Orang Sakit Jiwa Dihukum Mati?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Adakah Aturan yang Melarang Orang Sakit Jiwa Dihukum Mati?

Adakah Aturan yang Melarang Orang Sakit Jiwa Dihukum Mati?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Adakah Aturan yang Melarang Orang Sakit Jiwa Dihukum Mati?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya apakah ada hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang pelarangan/penundaan eksekusi mati dikarenakan terpidana mengalami gangguan jiwa (gangguan jiwa baru dialami setelah putusan hukuman mati diputuskan dan bukan saat melakukan perbuatan tersebut)? Terima kasih atas jawabannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP

    Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP

     

    Intisari:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

     

    Pada prinsipnya penyakit kejiwaan tidak menjadi alasan ditunda atau dibatalkannya eksekusi hukuman mati.

     

    Dengan kata lain, tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan dan tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain.

     

    Penjelasan lebih  lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

     

    Ulasan:

     

    Mengenai pemidanaan bagi seseorang yang memiliki gangguan jiwa, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf sebagaimana dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

     

    Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

     

    Pasal 44

    (1)  Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

    (2)  Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

    (3)  Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

     

    Penjelasan lebih lanjut soal alasan pemaaf dapat Anda simak dalam artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?

     

    Hal di atas merupakan alasan-alasan yang dapat dikemukakan oleh penasehat hukum terdakwa dalam proses persidangan sehingga apabila terbukti terdakwa kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ke dalam rumah sakit jiwa selama satu tahun untuk pemeriksaan.

     

    Dari keterangan yang Anda berikan, terpidana mati tersebut mengalami gangguan jiwa setelah ada putusan hukuman mati dan bukan saat ia melakukan tindak pidana. Ini artinya, alasan pemaaf tidak dapat diterapkan kepada terpidana mati yang bersangkutan. Hal ini karena proses persidangan telah selesai sehingga terpidana yang dijatuhi hukuman mati telah dipandang sah melakukan perbuatan (tindak pidana) saat itu secara sadar dengan akal sehatnya sehingga gangguan jiwa yang ia alami setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ia bersalah tidak serta merta menghapus pidananya.

     

    Jika dilihat dari aturan soal hukuman mati itu sendiri, yang menjadi alasan-alasan penundaan eksekusi hukuman mati antara lain adalah jika terpidana hamil. Ini diatur dalam Pasal 7 Penetapan Presiden No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 (“Perpres 2/PNPS/1964”):

     

    “Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.”

     

    Artinya, eksekusi hukuman mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Penjelasan lebih lanjut tentang alasan-alasan penundaan ekekusi hukuman mati lainnya dapat Anda simak dalam artikel Alasan-Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati dan Eksekusi Hukuman Mati Bagi Terpidana yang Hamil.

     

    Jadi pada dasarnya kesehatan kejiwaan seseorang tidak mempengaruhi proses eksekusi pidana mati. Sebagai contoh, dalam artikel Sakit Jiwa dan Penundaan Eksekusi Terpidana Hukuman Mati yang kami kutip dari situs gatra.com, Dr. Reda Manthovani,.SH,. LLM (Konsul Kejaksaan pada Konsulat Jenderal RI di Hong Kong) menceritakan bahwa terpidana mati asal Curitiba Brasil bernama Rodrigo Gularte disebut telah mengidap penyakit skizofrenia paranoid dan bipolar (manik depresif), yakni gangguan kejiwaan yang bersifat berat dan kronis. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati tak terpengaruh situasi jika ada terpidana mati yang sakit. Begitu juga eksekusi terhadap Rodrigo Gularte yang dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Menteri menjelaskan, pada prinsipnya, tak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan.

     

    Senada dengan pendapat Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, HM Prasetyo menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain. Pelaksanaan eksekusi mati dapat ditunda apabila terpidana itu wanita yang sedang hamil atau anak di bawah umur.

     

    Masih bersumber dari artikel yang sama, isu soal terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa pernah setidaknya disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 akan tetapi di masa datang seharusnya perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting, yakni:

    1.    Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

    2.    Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

    3.    Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

    4.    Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil itu melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

     

    Namun, berdasarkan penelusuran kami, hingga kini belum ada penyesuaian peraturan perundang-undangan terkait hukuman mati terhadap terpidana mati yang memiliki gangguan kejiawaan.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

    2.    Penetapan Presiden Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945.


    Referensi:

    http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/138262-sakit-jiwa-dan-penundaan-eksekusi-terpidana-hukuman-mati.html, diakses pada 17 Maret 2015 pukul 13.37 WIB.

    Tags

    hukuman mati

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!