Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ini Jerat Hukum untuk Penjaja Seks di Media Sosial

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Ini Jerat Hukum untuk Penjaja Seks di Media Sosial

Ini Jerat Hukum untuk Penjaja Seks di Media Sosial
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Ini Jerat Hukum untuk Penjaja Seks di Media Sosial

PERTANYAAN

Adakah hukum yang mengatur soal PSK yang menjajakan dirinya di jejaring sosial dengan memajang foto dan nomor teleponnya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Orang yang menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual dapat dipidana baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Jika iklan layanan seksual tersebut berupa gambar yang mengandung pornografi, hal tersebut juga dapat dipidana.
     
    Penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 17 April 2015.
     
    Intisari :
     
     
    Orang yang menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual dapat dipidana baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Jika iklan layanan seksual tersebut berupa gambar yang mengandung pornografi, hal tersebut juga dapat dipidana.
     
    Penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Menyebarkan Konten Bermutan Asusila di Sosial Media Menurut UU ITE
    Dalam pertanyaan Anda, Anda membicarakan mengenai jejaring sosial atau yang biasa disebut dengan media sosial. Untuk itu, kami juga akan membahas berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). Apa yang ditulis dalam media sosial adalah termasuk informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU 19/2016:
     
    Pasal 1 angka 1 UU 19/2016:
    Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
             
    Pasal 1 angka 4 UU 19/2016:
    Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
     
    Terkait pertanyaan Anda mengenai pekerja seks komersial (“PSK”) menjajakan dirinya di media sosial, dalam UU ITE dan perubahannya sendiri tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai hal tersebut. Ketentuan dalam UU ITE dan perubahannya sebatas melarang konten yang berisi hal-hal yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
     
    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
     
    Hukuman bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016, yatu:
     
    Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
     
    UU ITE sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan. Namun, untuk memahami “melanggar kesusilaan” kita dapat merujuk pada pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dalam penjelasan atas pasal kejahatan terhadap kesopanan. Soesilo (hal. 205) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kesopanan” dalam arti kata “kesusilaan” yaitu perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.
     
    Lebih lanjut, sebagaimana kami sarikan, dijelaskan bahwa sifat merusak kesusilaan amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu. Berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia ini, aparat hukum hendaknya menyelidiki terlebih dahulu apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, keadaan, dan sebagainya di tempat tersebut dipandang sebagai melanggar kesusilaan atau tidak.
     
    Mengenai unsur melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE, Majelis Hakim dalam perkara pada Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2191/Pid.B/2014/PN.Sby menjelaskan bahwa melanggar kesusilaan adalah tindakan seseorang yang melanggar norma kesusilaan, termasuk dalam pengertian melanggar kesusilaan adalah tindakan penyerbaluasan konten gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
     
    Untuk itu, jika kata-kata/tulisan dan gambar yang disiarkan oleh PSK tersebut melalui media sosial memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat, maka PSK tersebut dapat saja dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45 UU 19/2016.
     
    Menyebarkan Konten Bermutan Asusila di Sosial Media Menurut UU Pornografi
    Selain UU ITE dan perubahannya, ada undang-undang lain yang mengatur secara eksplisit mengenai menjajakan/mengiklankan diri terkait jasa pornografi, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi mengatur bahwa setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
    1. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    2. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
    3. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
    4. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
     
    Sedangkan yang dimaksud dengan pornografi itu sendiri adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[1]
     
    Orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 3 miliar.[2]
     
    Jika iklan yang dilakukan oleh PSK tersebut disertai foto yang mengandung muatan pornografi, maka ia juga dapat dikenai pidana berdasarkan Pasal 8 jo. Pasal 34 UU Pornografi:
     
    Pasal 8 UU Pornografi:
    Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
     
    Pasal 34 UU Pornografi:
    Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
     
    Putusan:
    Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2191/Pid.B/2014/PN.Sby.

    [1] Pasal 1 angka 1 UU Pornografi
    [2] Pasal 30 UU Pornografi

    Tags

    hukumonline
    teknologi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!