Ada anak perempuan 18 tahun melakukan kekerasan verbal kepada ibu kandungnya. Saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai keadaan ini. Apakah ada landasan hukum untuk (ibunya atau saudara kandungnya) melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi? Anak ini tinggal sendirian di luar kota untuk kuliah, tapi kadang-kadang pulang ke rumah ibunya. Apakah orang tua masih wajib menafkahi anak berusia 18 tahun? Mereka masih punya satu anak 14 tahun yang harus dinafkahi. Selain itu, orang tua sudah bercerai, tinggal terpisah, dan masing-masing berpenghasilan di bawah UMR. "Rumah ibunya" secara hukum adalah milik ayahnya, tapi ayahnya tidak tinggal di situ lagi Terima kasih atas perhatiannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Intisari:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti (misalnya) perjanjian.
Kemudian, mengenai memberikan nafkah untuk anak, selama anak itu belum kawin atau belum dapat berdiri sendiri, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya terus berlaku, termasuk memberikan nafkah bagi anaknya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelumnya, kami jelaskan terlebih dahulu hak dasar anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 (“UU 35/2014”). Pada dasarnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dandiasuh oleh orang tuanya sendiri.[1] Ini berarti orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya dan tidak menelantarkannya.
Terkait penelantaran, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[3]
b.orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Yang dimaksud dengan anak dalam lingkup rumah tangga adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.[5] Sedangkan pengertian “anak” dapat dilihat dalam UU 35/2014, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[6]
Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).[7]
Menjawab pertanyaan Anda, jika dilihat dari umur si anak perempuan tersebut, memang ia bukan lagi termasuk sebagai “anak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada landasan hukum bagi ibu atau saudara kandungnya untuk melarang anak itu pulang ke rumah ibunya dan/atau menghubungi ibunya lagi. Bagaimanapun juga, hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena misalnya perjanjian. Selengkapnya soal hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat Anda simak dalam artikel Apakah Orangtua Bisa Memutuskan Hubungan Hukum dengan Anak?
Dalam praktiknya, pengusiran keluarga dari rumah dapat dikenakan pidana. Sebagai contoh soal pengusiran anak yang dilakukan oleh terdakwa dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sekayu Nomor : 659/Pid.Sus/2014/PN.Sky. Diketahui bahwa Terdakwa mengusir istri dan anak-anaknya. Terdakwa tidak pernah memberikan nafkah baik lahir maupun bathin baik kepada saksi sebagai istrinya maupun untuk anak-anak semenjak saksi diusir pergi oleh Terdakwa.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penelantaran dalam Lingkup Rumah Tangga”. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (enam) bulan.
Kewajiban Orang Tua Menafkahi Anaknya
Berdasarkan penelusuran kami dalam UU PKDRT maupun UU Perlindungan Anak, pada dasarnya tidak ada aturan tegas soal kapan batas waktu orang tua memberikan nafkah kepada anaknya.
(1)Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Berdasarkan keterangan yang Anda sampaikan, anak tersebut tinggal sendirian di luar kota untuk kuliah, tapi kadang-kadang pulang ke rumah ibunya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak itu masih bergantung pada orang tuanya dan belum dapat mandiri untuk membiayai penghidupannya. Jadi, selama anak itu belum kawin atau belum dapat berdiri sendiri, kewajiban orang tua terus berlaku, termasuk memberikan nafkah bagi anaknya.
Jika orang tua tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada anak tersebut, maka dapat dipidana karena melakukan tindak pidana penelantaran sebagaimana telah disebutkan di atas.
Langkah yang Dapat Dilakukan
Kami menyarankan agar sang orang tua membicarakan masalah ini secara baik-baik kepada anak tersebut. Jika anak tersebut melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku seperti berbuat kekerasan kepada orang tuanya, orang tua dapat melaporkan hal tersebut kepada polisi agar si anak jera.
Untuk tambahan informasi bagi Anda, anak yang melakukan kekerasan secara verbal kepada orang tuanya (kekerasan psikis) ini dapat diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).[8]
Ibu yang menjadi korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.[9]