Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelumnya, kami asumsikan bahwa Anda beragama Islam, sehingga salah satu pendekatan dalam menjawab pertanyaan Anda berdasarkan hukum Islam.
Pengertian Anak Sah
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Dengan demikian, anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang bukan akibat perkawinan yang sah dapat dikatakan sebagai anak yang tidak sah.
Terkait pertanyaan Anda, zina bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang salah satu dari mereka berada dalam ikatan perkawinan atau juga keduanya sama-sama berada dalam ikatan perkawinan.
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan
Pertama, yang harus dipahami bahwa, hubungan Anda dengan ayah biologis anak yang Anda kandung tersebut merupakan hubungan yang dilarang, baik secara agama maupun secara hukum positif Indonesia.
Anda dan ayah biologis anak yang Anda kandung tersebut dapat diadukan oleh suami Anda atau istri laki-laki tersebut atas dugaan tindak pidana zina atas dasar Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan diancam pidana penjara paling lama 9 bulan.
Kedua adalah untuk dipastikan siapa ayah biologis dari anak yang Anda kandung tersebut secara ilmu pengetahuan atau hukum. Adanya hubungan perkawinan menjadikan suami Anda juga memiliki peluang besar menjadi ayah biologis dari anak yang Anda kandung itu.
Maka, klaim atau dugaan dalam pertanyaan Anda patut dibuktikan terlebih dahulu.
Ketiga, yang perlu diperhatikan adalah mengenai pengetahuan suami Anda terkait dengan anak yang sedang Anda kandung. Jika suami Anda tahu bahwa anak yang sedang Anda kandung bukanlah janin darinya dan ia tidak terima, maka suami Anda berhak untuk tidak mengakui anak tersebut.
Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
Keempat, jika sudah dapat dipastikan bahwa ayah biologis anak tersebut bukanlah suami Anda, maka berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah.
Menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (hal. 37), anak yang dilahirkan di luar perkawinan selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, juga dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya, selama dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.
Jadi, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin memiliki hubungan dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, yaitu:
melalui pengakuan sang ayah biologis; atau
pengesahan sebagai ayah biologis dari anak luar kawin tersebut.
Jika ayah biologisnya tidak rela anaknya diklaim sebagai anak suami Anda, maka ia berpeluang untuk melakukan sejumlah langkah hukum untuk mempertahankan haknya sebagai ayah biologis.
Dari uraian di atas, hendaknya Anda, suami Anda, dan ayah biologis dari anak tersebut melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan apapun, karena ini menyangkut kebaikan anak yang Anda kandung jika ia lahir kelak.
Hal ini berkaitan juga dengan salah satu hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
[1]
Pencatatan di Kartu Keluarga (KK)
Jika Anda berkeinginan mencatatkan anak dalam kandungan tersebut di dalam KK Anda, berarti ada penambahan anggota keluarga baru akibat kelahiran.
surat pengantar RT domisili;
KK asli;
surat kenal lahir dari bidan/rumah sakit/kelurahan;
fotokopi buku nikah/akta perkawinan;
fotokopi akta kelahiran anak pertama jika penambahan anak ke-2 atau ke-3, dan seterusnya dan akta kelahiran orang tua jika penambahan anak pertama;
fotokopi KTP-el orang tua;
mengisi formulir F-1.16.
Memang ada celah bagi Anda untuk memasukkan anak yang sedang Anda kandung ke dalam KK Anda, karena semua persyaratan administratif tersebut dapat Anda penuhi sebab pada dasarnya data administrasi tersebut merupakan data antara Anda dengan suami Anda, bukan antara Anda dengan ayah biologis dari anak Anda. Hal ini mengingat tidak adanya proses pengecekan keaslian asal-usul anak yang dilahirkan tersebut.
Namun demikian, Anda tetap harus mempertimbangkan hal-hal yang kami terangkan di atas untuk diperhatikan sebelum membuat keputusan.
Status Anak
Jika setelah dibuktikan bahwa ayah biologis dari anak tersebut bukanlah suami Anda, maka anak tersebut yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah.
Pasal 100 KHI menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Namun, berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi di atas, anak yang dilahirkan itu dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya.
Menurut Pasal 103 ayat (1) KHI, asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
Jika akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
[2]
Hal ini secara tersirat tercantum dalam Pasal 101 KHI:
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”
Selain itu, Pasal 102 KHI berbunyi:
Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Akan tetapi jika suami Anda menolak atau tidak mengakui anak tersebut, maka ia bisa menempuh langkah hukum untuk pengingkarannya itu.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
[2] Pasal 103 ayat (2) KHI