KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Semula Kawin Beda Agama, Lalu Kini Beragama yang Sama

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Semula Kawin Beda Agama, Lalu Kini Beragama yang Sama

Semula Kawin Beda Agama, Lalu Kini Beragama yang Sama
Karimatul Ummah, S.H.,M.HumPSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Semula Kawin Beda Agama, Lalu Kini Beragama yang Sama

PERTANYAAN

Ada sepasang suami istri yang telah menikah melalui kantor catatan sipil karena berbeda agama, di mana suaminya beragama non-Muslim dan istrinya Muslim. Setelah pernikahan tersebut, si suami akhirnya memeluk agama Islam, sehingga sekarang suami istri tersebut sama-sama Muslim, dan mereka ingin mengubah perkawinan sebelumnya yang melalui catatan sipil menjadi perkawinan secara Islam yang tercatat di KUA. Bagaimanakah caranya untuk mengubah perkawinan tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau kantor catatan sipil. Masing-masing memiliki kewenangan mencatat yang didasarkan pada agama calon suami istri.
     
    Perkawinan beda agama yang telah mendapat penetapan dari pengadilan negeri, maka pencatatannya dilakukan oleh pegawai catatan sipil.
     
    Namun, bagaimana jika suami atau istri kini sudah pindah agama, sehingga pasangan tersebut sama-sama beragama Islam? Haruskah melakukan dan mencatatkan perkawinan kembali di KUA?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pencatatan Perkawinan
    Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
     
    Agar suatu perkawinan dinyatakan sah, maka perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[1]
     
    Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan tersebut dinyatakan sah.
     
    Begitu pula suatu perkawinan yang sudah mendapat pemberkatan dari pendeta/pastor atau telah menjalani ritual-ritual keagamaan lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama.
     
    Namun demikian, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
    Hal ini diperjelas kembali dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
     
    Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan atau suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
     
    Maka, ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh UU Perkawinan.
     
    Terlebih, pencatatan perkawinan ini telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

    Selanjutnya, pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”) yang menyatakan bahwa:
    1. pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat di Kantor Urusan Agama (“KUA”);
    2. pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
     
    Pencatatan nikah bagi umat Islam dipertegas kembali dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”):[3]
    1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat;
    2. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah di KUA.
     
    Dengan demikian, hanya terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan, yakni KUA dan kantor catatan sipil.
     
    Perkawinan Beda Agama
    Mengenai pertanyaan Anda, pencatatan di KUA diberlakukan terhadap perkawinan, di mana calon suami istri beragama sama. Lain halnya jika terhadap perkawinan beda agama, yakni perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan masing-masing tetap mempertahankan agama dan kepercayaan yang dianutnya sebagaimana dikemukakan oleh O. S. Eoh dalam buku Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek (hal. 35).
     
    Menurut Hilman Hadikusuma dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia, termasuk dalam pengertian ini di mana agamanya satu kiblat, tetapi berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara agamanya (hal. 18).
     
    Terhadap perkawinan yang demikian, pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai catatan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) sebagaimana dikutip berikut:
     
    Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
    1. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
    2. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
     
    Ketentuan Pasal 34 UU Adminduk yang dimaksud menegaskan bahwa perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk, sehingga pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.[4]
     
    Lalu apa yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan"? Perkawinan tersebut adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.[5]
     
    Mengenai pertanyaan Anda, terhadap perkawinan beda agama yang telah dinyatakan sah dan dicatatkan di kantor catatan sipil, maka perkawinan tersebut sudah memiliki kedudukan hukum yang legal dan akta perkawinannya sudah autentik sebagai alat bukti adanya perbuatan hukum bernama perkawinan.
     
    Status Perkawinan Ketika Suami Pindah Agama
    Jika saat ini suami dan istri telah sama-sama memeluk agama Islam, maka upaya yang dapat dilakukan untuk memantapkan pernikahan secara Islam adalah dengan melakukan tajdiidun nikah atau pembaruan akad nikah.
     
    Dalam hal ini, suami istri tersebut bisa berkonsultasi dengan KUA setempat. Namun demikian, KUA tidak bisa mencatat pernikahan tersebut dan menerbitkan buku nikah yang baru, dikarenakan pencatatan perkawinan hanya dilakukan sekali saja, sehingga bukti pencatatan nikah yang dikeluarkan oleh catatan sipil sebelumnya masih berlaku dan tidak perlu Anda mencatatkannya untuk kedua kali sebagai perkawinan Islam.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    1. Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990;
    2. O. S. Eoh. Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
     

    [1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
    [2] Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan
    [3] Pasal 5 KHI
    [4] Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Adminduk
    [5] Pasal 35 huruf a UU Adminduk

    Tags

    keluarga dan perkawinan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!