Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Arti Penafsiran Hukum Argumentum A Contrario

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Arti Penafsiran Hukum Argumentum A Contrario

Arti Penafsiran Hukum <i>Argumentum A Contrario</i>
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Arti Penafsiran Hukum <i>Argumentum A Contrario</i>

PERTANYAAN

Saya pernah dengar soal argumentum a contrario. Pertanyaannya, apakah kita bisa menafsirkan undang-undang dengan arti berlawanan, seperti contoh perempuan tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddah selesai, berarti ketentuan ini tidak untuk laki-laki. Mohon penjelasannya, kalau bisa seperti apakah cara menafsirkan yang benar?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan hukum. Penafsiran berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Bagaimana contoh penafsiran argumentum a contrario tersebut? 

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Asas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas dalam Hukum Pidana

    Asas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas dalam Hukum Pidana

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H., dan dipublikasikan pertama kali pada Jumat, 3 Maret 2017.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Penemuan Hukum

    Penemuan hukum atau rechtsvinding harus dilakukan hakim ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas dalam memutus suatu perkara. Terkait hal tersebut, Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa seorang hakim dilarang menolak perkara. Lalu, hasil temuan (hukum) tersebut akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi.

    Kemudian, Agustinus dan Patra dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum (hal. 7) menerangkan bahwa penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat.

    Baca juga: Arti Asas Ius Curia Novit

    Cara Penemuan Hukum

    Cara penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum dapat dilakukan dengan dua metode, yakni:

    1. Interpretasi atau penafsiran: merupakan metode penemuan hukum yang dilakukan ketika peraturan perundang-undangan tidak jelas dan tidak lengkap. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang dengan menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangannya (hal. 73).

    Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara (hal. 74-82):

    1. Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari.
    2. Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.
    3. Sistematis atau logis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
    4. Teleologis atau sosiologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan.
    5. Komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain.
    6. Futuristis atau antisipatif, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
    7. Restriktif, yaitu mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.
    8. Ekstensif, yaitu menafsirkan dengan cara melampaui batas oleh penafsiran gramatikal.

     

    1. Penalaran: metode penemuan hukum yang dapat digunakan apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi (hal. 84).

    Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara (hal. 86 – 92):

    1. Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
    2. Rechtverfijning atau penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
    3. Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

    Baca juga: Penemuan Hukum dan Konstruksi Hukum

    Pengertian Penafsiran Pengungkapan Secara Berlawanan

    Sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan, menafsirkan undang-undang secara berlawanan disebut juga dengan argumentum a contrario. Terkait ini, R. Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum (hal. 115) menjelaskan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.

    R. Soeroso kemudian menerangkan bahwa berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.

    Sementara, Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pada a contrario menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwa. Adakalanya, suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tapi kebalikan dari peristiwa itu diatur dalam undang-undang. Di sini peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang dicari hukumnya tidak ada, namun yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tapi ada unsur kemiripan dengan peristiwa yang akan dicari hukumnya.[1]

    Kemudian, pada hakikatnya penafsiran a contrario sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif sedangkan penafsiran a contrario hasilnya negatif. Adapun penafsiran berdasarkan argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.

    Perbedaaan penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:[2]

    1. Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh hasil negatif.
    2. Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan; sedangkan secara a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.

    Persamaannya penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:[3]

    1. Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum.
    2. Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.
    3. Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi.
    4. Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang.

    Contoh Penafsiran Argumentum A Contrario

    Contoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 KUH Perdata yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.

    Kemudian, dalam Pasal 39 ayat (1) PP 9/1975 disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)  UU Perkawinan adalah sebagai berikut.

    1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
    2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
    3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

    Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari? Jawabannya adalah tidak. Karena pasal tersebut diberlakukan bagi duda secara a contrario sehingga kalau duda akan menikah lagi tidak perlu menunggu.

    Dengan kata lain, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.[4]

    Contoh lain, apa yang dimaksud dengan sebab yang halal yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan secara tegas. Namun, Pasal 1337 KUH Perdata mengatur tentang sebab yang terlarang yaitu yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga, secara a contrario dapat diketahui bahwa sebab yang halal adalah sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]

    Menjawab pertanyaan Anda, penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan hukum. Penafsiran berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

    Demikian jawaban dari kami terkait penafsiran argumentum a contrario, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Referensi:

    1. Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M. Zen. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI, 2008;
    2. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2011;
    3. Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum. Ke-5. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.

    [1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014, hal. 89 – 90

    [2] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 115

    [3] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 116

    [4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 116

    [5] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014, hal. 90 – 91

    Tags

    buku
    google

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!