KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Developer Dinyatakan Pailit, Apakah Cicilan KPR Tetap Harus Dibayar?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Jika Developer Dinyatakan Pailit, Apakah Cicilan KPR Tetap Harus Dibayar?

Jika Developer Dinyatakan Pailit, Apakah Cicilan KPR Tetap Harus Dibayar?
Esther Roseline, S.H. Albert Aries & Partners
Albert Aries & Partners
Bacaan 10 Menit
Jika Developer Dinyatakan Pailit, Apakah Cicilan KPR Tetap Harus Dibayar?

PERTANYAAN

Bila saya membeli rumah dengan KPR, lalu di tengah jalan developernya bangkrut, apa saja kewajiban saya pada bank? Apa cicilan KPR tetap harus dibayarkan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Jika Permohonan KPR Ditolak karena Tidak Punya Perjanjian Perkawinan

    Jika Permohonan KPR Ditolak karena Tidak Punya Perjanjian Perkawinan

     

     

    Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan peristiwa, yaitu:

    1.    Rumah yang Anda beli sudah jadi secara utuh dan siap ditinggali

    Dalam hal ini, setelah permohonan Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) disetujui Bank (yang berarti Perjanjian Pengikatan Jual Beli/PPJB telah ditandatangani dan uang muka telah dibayar) dan Akad Kredit dengan bank telah ditandatangani, maka bank akan mentransfer dana ke pihak developer dan Notaris akan memproses Akta Jual Beli (“AJB”) serta pembalikkan nama sertifikat tanah ke nama Anda. Sehingga, objek rumah yang dibeli sudah menjadi milik Anda. Karena itu, jika di tengah jalan developer bangkrut atau dinyatakan pailit, status rumah Anda tidak akan menjadi boedel pailit yang akan dibereskan oleh kurator untuk membayar utang–utang developer. Di samping itu, cicilan Anda kepada bank tetap harus dilanjutkan sesuai Perjanjian Kredit yang ditandatangani.

    2.    Rumah yang Anda beli belum jadi secara utuh, di tengah jalan developer tersebut bangkrut dan tidak dapat melanjutkan pembangunan

    Jika peristiwa ini yang terjadi, Anda hanya memegang PPJB (bukan AJB atau sertifikat tanah) yang telah ditandatangani dengan pihak developer, yang berarti objek rumah tersebut masih menjadi milik developer dan belum beralih. Yang lebih buruk lagi, kini rumah tersebut menjadi bagian dari boedel pailit.

     

    Lalu bagaimana dengan kewajiban pembeli (debitor) terhadap bank yang mana developer dinyatakan pailit sebelum rumahnya jadi secara utuh dan siap ditinggali? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan peristiwa, yaitu:

     

    1.  Yang pertama, jika rumah yang Anda beli sudah jadi secara utuh dan siap ditinggali, maka mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (“PBI 2016”) dan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/ 38 /DPNP tanggal 31 Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) Administrasi Kredit Pemilikan Rumah Dalam Rangka Sekuritisasi (“SEBI 2010”), setelah permohonan Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) disetujui Bank (yang berarti Perjanjian Pengikatan Jual Beli/PPJB telah ditandatangani dan uang muka telah dibayar) dan Akad Kredit dengan bank telah ditandatangani, maka bank akan mentransfer dana ke pihak developer dan Notaris akan memproses Akta Jual Beli (“AJB”) serta pembalikkan nama sertifikat tanah ke nama Anda. Rumah yang sudah atas nama Anda sebagai pembeli ini akan langsung dibebankan Hak Tanggungan oleh pihak Bank. Selain itu, surat–surat seperti AJB, sertifikat hak atas tanah, dan termasuk Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”), dipegang oleh pihak Bank sebagai jaminan sampai semua cicilan kepada Bank telah dilunasi.

     

    Jika peristiwa ini yang terjadi, maka objek rumah yang dibeli sudah menjadi milik Anda. Karena itu, jika di tengah jalan developer bangkrut atau dinyatakan pailit, status rumah Anda tidak akan menjadi boedel pailit yang akan dibereskan oleh kurator untuk membayar utang–utang developer. Di samping itu, cicilan Anda kepada bank tetap harus dilanjutkan sesuai Perjanjian Kredit yang ditandatangani. Anda juga tetap dapat memiliki dan menempati rumah tersebut jika cicilan KPR Anda lunas.

     

    2.   Yang kedua, yang menjadi persoalan adalah jika rumah yang Anda beli belum jadi secara utuh dan di tengah jalan developer tersebut bangkrut atau dinyatakan pailit serta tidak dapat melanjutkan pembangunan. Jika peristiwa ini yang terjadi, Anda hanya memegang PPJB (bukan AJB atau sertifikat tanah) yang telah ditandatangani dengan pihak developer, yang berarti objek rumah tersebut masih menjadi milik developer dan belum beralih. Yang lebih buruk lagi, kini rumah tersebut menjadi bagian dari boedel pailit. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, selengkapnya dapat Anda simak Status Bangunan yang Dibeli Dari Developer yang Dinyatakan Pailit. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (“Kepmenpera 1995”), PPJB tersebut juga belum bisa diproses AJB sebelum rumah tersebut diselesaikan pembangunannya dan telah siap untuk dihuni.[1]

     

    KPR yang diajukan untuk rumah yang belum tersedia secara utuh (dikenal dengan KPR rumah inden) sudah diatur dalam PBI 2016 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP tanggal 6 September 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (“SEBI 2016”). Persyaratan untuk Bank memberikan Kredit Pemilikan (“KP”) untuk pemilikan properti yang belum tersedia secara utuh adalah adanya perjanjian kerjasama antara Bank dan developer, jaminan yang diberikan oleh developer kepada bank yang nilainya paling kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank,[2] dan jaminan tersebut dapat dieksekusi oleh Bank jika developer tidak dapat menyelesaikan pembangunan Propertinya.[3]

     

    Bank juga tidak akan mengucurkan dana 100% kepada pihak developer. Bank akan mengirimkan dana secara bertahap sebagaimana diatur dalam SEBI 2016. Karena itu, biasanya KPR rumah inden hanya bisa diajukan kepada bank yang adalah rekanan developer. Bank biasanya (kecuali ada kesepakatan lain) tidak akan memegang jaminan lain selain PPJB antara Anda dan developer sebagai “jaminan sementara” dan jaminan dari pihak developer itu sendiri. Adapun PPJB sebenarnya tidak bisa dijadikan agunan bank karena menurut  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, agunan bank hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.[4] Adapun hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan hanyalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak selengkapnya PPJB Sebagai Jaminan Kredit.

     

    Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa terjadi 3 (tiga) perjanjian yang harus kita lihat secara terpisah:

    1.    PPJB – pihaknya adalah: Anda sebagai pembeli dan developer sebagai penjual

    2.    Perjanjian Kredit – pihaknya adalah: Anda sebagai debitor dan Bank sebagai Kreditur

    3.    Perjanjian Kerjasama beserta jaminan – pihaknya adalah: Bank dan Developer

     

    Ketika developer pailit, PPJB secara otomatis akan hapus. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yang berbunyi:

     

    Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

     

    Anda tidak dapat menuntut diprosesnya AJB berdasarkan PPJB tersebut ketika developer dinyatakan pailit. Yang dapat Anda lakukan adalah menuntut ganti rugi kepada developer sebagai Kreditor Konkuren berdasarkan Pasal 115 ayat (1) UU KPKPU:

     

    Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.

     

    Kewajiban Anda sebagai Debitor

    Pada dasarnya hapusnya PPJB tidak serta merta menghapuskan Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian terpisah. Seluruh kewajiban yang tertulis dalam Perjanjian Kredit masih berlaku terhadap Bank dan debitor (termasuk cicilan KPR). Namun kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah gagal melakukan kewajiban tersebut (wanprestasi) dibenarkan oleh hukum atas dasar kepailitan developer?

     

    Menurut Pasal 1243  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”),

     

    Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

     

    Jadi kelalaian memenuhi kewajiban sebuah perikatan harus disertai dengan penggantian biaya, rugi dan bunga. Namun menurut Pasal 1244 – 1245 KUH Perdata:

             

    Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

     

    Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal – hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

     

    Wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa tidak akan mewajibkan debitor mengganti biaya, rugi, dan bunga. Lalu apakah kepailitan developer termasuk dalam keadaan memaksa?

     

    Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Hukum Perikatan dalam KUH Perdata: Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan Buku Ketiga, ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa:

    1.    Tidak memenuhi prestasi

    2.    Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitor

    3.    Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor.

     

    Dalam hal ini, kepailitan developer memenuhi seluruh unsur tersebut dan termasuk dalam kategori keadaan memaksa yang dapat mengecualikan debitor (Anda sebagai pembeli) dari keharusan membayar biaya, rugi, dan bunga, jika Anda tidak meneruskan cicilan KPR Anda. Dalam hal ini, risiko keadaan memaksa tersebut akan ditanggung oleh pihak developer melalui jaminan yang sebelumnya ditahan oleh pihak Bank dalam perjanjian kerjasama antara Bank dan developer. Justru, Anda dapat menuntut ganti rugi kepada developer sebagai Kreditor Konkuren sebagaimana kami jelaskan sebelumnya.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

    3.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

    4.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

    5.    Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah; 

    6.    Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor;

    7.  Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/ 38 /DPNP tanggal 31 Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) Administrasi Kredit Pemilikan Rumah Dalam Rangka Sekuritisasi;

    8.    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP tanggal 6 September 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

     



    [1] Romawi X Nomor 1 huruf  a Lampiran Kepmenpera 1995

    [2] Romawi V Huruf A Angka 1c poin 4) SEBI 2016

    [3] Romawi V Huruf A Angka 1c poin 5) SEBI 2016

    [4] Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998

    Tags

    perdata
    hak tanggungan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!