Intisari:
Untuk menentukan dapat/tidaknya seorang karyawan menggunakan izin sakit adalah ada/tidaknya keterangan dokter yang menyatakan bahwa karyawan yang bersangkutan sedang sakit. Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sedangkan izin istirahat dengan perhitungan atau surat keterangan dokter kandungan atau bidan hanya ditujukan untuk pekerja/buruh perempuan yang melahirkan atau keguguran. Hal ini diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan. Menurut hemat kami, tindakan perusahaan yang tidak ingin menerima surat keterangan berobat dari bidan oleh teman Anda yang seorang laki-laki bukanlah merupakan pelanggaran hukum. Alasan perusahaan menolak karena ranah wewenang pelayanan yang diberikan oleh bidan adalah untuk ibu hamil, melahirkan, menyusui dan anak balita juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan yang mengatur wewenang bidan, yaitu melayani pelayanan kesehatan ibu, anak, reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sakit dan Istirahat dalam UU Ketenagakerjaan
Kemudian, bagi pekerja/buruh perempuan juga diatur mengenai istirahat yang dapat diperoleh menurut perhitungan atau keterangan dari dokter kandungan atau bidan. Hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan berikut:
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Penjelasan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kemudian menjelaskan bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
Jadi, sebagaimana dijelaskan dalam artikel
Izin Sakit, dasar untuk menentukan dapat/tidaknya seorang karyawan menggunakan izin sakit adalah ada/tidaknya keterangan dokter yang menyatakan bahwa karyawan yang bersangkutan sedang sakit. Sedangkan, izin istirahat dengan perhitungan atau surat keterangan dokter kandungan atau bidan hanya ditujukan untuk pekerja/buruh perempuan yang melahirkan atau keguguran. Dasar untuk menentukan dapat/tidaknya menggunakan izin istirahat ini adalah perhitungan atau dengan surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan.
Perlu diperjelas terlebih dahulu bahwa Anda bertanya mengenai teman Anda, seorang laki-laki yang menggunakan surat keterangan berobat sekaligus surat keterangan istirahat dari bidan untuk meminta izin sakit kepada perusahaan tempat teman Anda bekerja, tapi kemudian ditolak oleh perusahaan dengan alasan surat keterangan berobat yang dikeluarkan oleh bidan tidak sah, dikarenakan ranah atau ruang lingkup bidan adalah ibu hamil, melahirkan, menyusui, dan anak balita.
Bolehkah Laki-Laki Menggunakan Surat Keterangan Sakit dari Bidan?
Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur larangan penggunaan surat keterangan berobat sekaligus surat istirahat dari bidan sebagai surat keterangan sakit. Mengenai hal ini, Juanda Pangaribuan, Advokat Spesialisasi Ketenagakerjaan dan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (2006-2016) berpendapat sebagai berikut:
Apabila yang meminta surat keterangan dari bidan tersebut adalah pekerja perempuan dan sakitnya menyangkut kodrati wanita seperti sakit karena haid, hamil, dan melahirkan, keterangan sakitnya harus diakui, kecuali peraturan perusahaan secara tegas mengatur dan melarang pemeriksaan sakit apapun bagi perempuan tidak boleh berobat ke bidan. Jikapun ada larangan seperti itu, larangan itu bisa saja diabaikan apabila terdapat suatu keadaan yang mengharuskan ke bidan. Misalnya, sakitnya darurat sedangkan rumah sakit atau klinik yang ditunjuk sebagai mitra perusahaan berada ditempat nan jauh. Dalam konteks ini harus mempertimbangkan keselamatan jiwa.
Apabila yang meminta surat keterangan dari bidan tersebut adalah pekerja perempuan yang sakit biasa, keterangan sakitnya juga bisa diakui. Jika perusahaan meragukan keterangan sakit itu, perusahaan sebaiknya melakukan dua hal: menemui bidan terkait untuk meminta klarifikasi terkait sakitnya; dan/atau membawa si pekerja ke dokter lain untuk meminta second opinion.
Namun, apabila yang sakit adalah laki-laki menurut Juanda adalah tidak tepat dia ambil keterangan sakit dari bidan. Sebab sakit yang diperiksa bidan tentulah sakit yang terkait dengan wanita. Jika itu terjadi, maka wajar bila perusahaan tidak mengakui keterangan sakit itu.
Sebagai tambahan informasi, wewenang bidan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Permenkes 28/2017 meliputi pemberian:
Pelayanan kesehatan ibu;
Pelayanan kesehatan anak; dan
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Bidan dalam melaksanakan praktik kebidanannya juga berkewajiban untuk merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.[1]
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat kami tindakan perusahaan yang menolak surat keterangan berobat dari bidan yang diajukan oleh teman Anda yang merupakan seorang laki-laki bukanlah merupakan pelanggaran hukum. Alasan perusahaan menolak karena ranah wewenang pelayanan yang diberikan oleh bidan adalah untuk ibu hamil, melahirkan, menyusui dan anak balita juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Permenkes 28/2017 yang mengatur wewenang bidan, yaitu melayani pelayanan kesehatan ibu, anak, reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan via WhatsApp pada 31 Mei 2018 pukul 14.14 WIB.
[1] Pasal 28 huruf c Permenkes 28/2017