Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat Tanah

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat Tanah

Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat Tanah
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat Tanah

PERTANYAAN

Bagaimana prosedur memperoleh surat keterangan penguasaan tanah atau SKT?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Buku Tanah dengan Sertifikat Tanah

    Perbedaan Buku Tanah dengan Sertifikat Tanah

     

     

    Surat Kepemilikan Tanah (SKT) sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah.

     

    Secara eksplisit tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP 24/1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”).

     

    Sebagaimana yang pernah ditulis oleh praktisi hukum Irma Devita Purnamasari dalam artikel Untuk Pensertifikatan Tanah Sudah Tidak Perlu Lagi SKT dari Kelurahan dalam laman pribadinya, menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (yang saat itu dijabat oleh) Ferry Mursyidan Baldan, Surat Kepemilikan Tanah (“SKT”) itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah.

     

    Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah.[1] Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.[2]

     

    Pembuktian Hak dan Pembukuannya

    Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:[3]

    1.    pengumpulan dan pengolahan data fisik;

    2.    pembuktian hak dan pembukuannya;

    3.    penerbitan sertifikat;

    4.    penyajian data fisik dan data yuridis;

    5.    penyimpanan daftar umum dan dokumen.


    Pembuktian Hak Baru

    Untuk keperluan pendaftaran hak:[4]

    a.    hak atas tanah baru dibuktikan dengan:

    1)    penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;

    2)    asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima. hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;

    b.    hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;

    c.    tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;

    d.    hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;

    e.    pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.

     

    Pembuktian Hak Lama

    Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.[5]

     

    Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:[6]

    a.   penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

    b.  penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

     

    Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti, dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.[7]

     

    Hasil penelitian alat-alat bukti dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri.[8]

     

    Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat, berupa:[9]

    a.   grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

    b.  grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

    c.    surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

    d.    sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

    e.   surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

    f.   akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

    g.    akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau

    h.    akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

    i.      risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

    j.     surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

    k.    petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

    l.     surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

    m.  lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

     

    Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.[10] Penjelasan lebih lanjut tentang pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik dapat Anda simak artikel Pendaftaran Tanah Secara Massal.

     

    Penghapusan Persyaratan SKT/ Surat Keterangan Riwayat

    Masih merujuk pada artikel Untuk Pensertifikatan Tanah Sudah Tidak Perlu Lagi Skt Dari Kelurahan yang dibuat oleh Irma Devita Purnamasari, kini telah terbit Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat yang intinya menyampaikan edaran kepada seluruh Kantor Pertanahan untuk menyederhanakan proses pendaftaran tanah (pensertifikatan tanah). Irma mengutip sebelumnya dalam artikel Syarat Keterangan Lurah Bakal Dihapus yang dimuat dalam laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian ATR/BPN”), yang menginformasikan bahwa salah satu syarat dalam mengurus sertifikat tanah ke Kementerian ATR/BPN adalah adanya SKT. SKT ini dikeluarkan oleh kelurahan setempat.  Persyaratan ini akan dihapus BPN karena seringkali kepengurusannya memakan waktu lama.

     

    Dengan demikian menjawab pertanyaan Anda, SKT itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP 24/1997. Namun  SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

    2.     Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

    3.  Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat.



    [1] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf l PP 24/1997

    [2] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997

    [3] Pasal 12 ayat (1) PP 24/1997

    [4] Pasal 23 PP 24/1997

    [5] Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997

    [6] Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997

    [7] Pasal 25 ayat (1) PP 24/1997

    [8] Pasal 25 ayat (2) PP 24/1997

    [9] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997

    [10] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997

    Tags

    pertanahan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!