Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul
Wajibkah Debitor Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia? yang dibuat oleh
Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pada Kamis, 20 Desember 2018.
Jaminan Fidusia
Pengertian fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia disebut sebagai pemberi fidusia. Sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
[2]
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Biaya pembuatan akta diatur dengan peraturan pemerintah.
[3]
Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:
[4]identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
nilai penjaminan; dan
nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Berkaitan dengan huruf b, Pasal 4 UU Fidusia menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Maka dari itu, ada perjanjian pokok yang menjadi induk dari perjanjian jaminan fidusia. Sebagai contoh, jika perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piutang tersebut.
Kedudukan Kreditur dan Debitur dalam Fidusia
Pada perjanjian utang piutang terdapat debitur dan kreditur. Dalam UU Fidusia, kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang, karena perjanjian atau undang-undang. Sedangkan debitur adalah pihak yang mempunyai utang, karena perjanjian atau undang-undang.
[5]
Dalam UU Fidusia tidak diatur secara eksplisit adanya kewajiban pencantuman pihak debitur dan kreditur dalam akta jaminan fidusia. Namun jika kita cermati, kreditur dan debitur wajib disebutkan identitasnya dalam akta jaminan fidusia sebagai pemberi dan penerima fidusia.
Debitur sebagai pihak yang memiliki utang, tentu ingin melunasi utangnya kepada kreditur. Dalam hal perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang,
utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
[6]utang yang telah ada;
utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau
utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Dalam hal debitur menjaminkan benda miliknya sebagai objek jaminan fidusia untuk pelunasan utangnya, maka debitur disebut sebagai pemberi fidusia dan kreditur sebagai yang mempunyai piutang adalah penerima jaminan fidusia.
Maka, debitur dan kreditur wajib untuk dicantumkan dalam akta jaminan fidusia sebagai pemberi dan penerima jaminan fidusia.
Kehadiran Debitur dalam Membuat Akta Jaminan Fidusia
Terkait pokok pertanyaan pertama Anda, UU Fidusia tidak mengatur tentang keharusan pihak debitur untuk hadir pada saat membuat akta jaminan fidusia. Namun jika ditelusuri, perjanjian yang dibuat di hadapan notaris akan menjadi suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa perdata.
Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui pentingnya sifat dari kehadiran para pihak dalam pembuatan akta tersebut. Kehadiran para pihak dapat memperkuat pembuktiannya (untuk membenarkan telah terjadi suatu peristiwa hukum) jika suatu hari terjadi permasalahan hukum.
Sertifikat Jaminan Fidusia
Mengenai membedakan sertifikat asli dan palsu, hal tersebut dapat mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU Fidusia yang berbunyi:
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
Sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia berisi catatan tentang pernyataan pendaftaran yang memuat:
[7]identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
nilai penjaminan; dan
nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Selain itu, jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.
[8]
Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, sertifikat asli hanya yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Anda juga dapat mencocokkannya dengan buku daftar fidusia yang ada di sana untuk menguji keasliannya.
Selain itu, Pasal 18 UU Fidusia juga telah menerangkan bahwa segala keterangan mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.
Lebih lanjut, sertifikat jaminan fidusia nantinya berfungsi juga pada saat eksekusi jaminan fidusia ketika debitur cidera janji sebagaimana diatur Pasal 15 UU Fidusia yang menerangkan bahwa:
Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Menurut putusan tersebut, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang
tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan
debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (hal. 125).
Sedangkan, Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia sepanjang frasa “cedera janji” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji” (hal. 125).
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 2 UU Fidusia
[2] Pasal 1 angka 5 dan 6 UU Fidusia
[5] Pasal 1 angka 8 dan 9 UU Fidusia
[7] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) UU Fidusia
[8] Pasal 14 ayat (3) UU Fidusia