Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wajibkah Debitur Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Wajibkah Debitur Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?

Wajibkah Debitur Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Wajibkah Debitur Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?

PERTANYAAN

Saya mempunyai permasalahan terkait UU Fidusia. Saya ingin tahu, apakah jaminan fidusia dapat dibuat tanpa kehadiran pihak debitur? Bagaimana cara membedakan sertifikat atau akta yang asli dengan yang palsu?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak secara eksplisit diatur tentang keharusan para pihak untuk hadir pada saat membuat akta jaminan fidusia. Namun, perjanjian yang dibuat di hadapan notaris akan menjadi suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa perdata, sehingga kehadiran para pihak dalam pembuatan akta tersebut sangat penting untuk pembuktian di kemudian hari jika terjadi permasalahan hukum.
     
    Penjelasan lebih lanjut mengenai masalah tersebut serta cara membedakan sertifikat yang asli dan palsu, dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Wajibkah Debitor Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia? yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pada Kamis, 20 Desember 2018.
     
    Jaminan Fidusia
    Pengertian fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
     
    Sedangkan, yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.[1]
     
    Orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia disebut sebagai pemberi fidusia. Sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.[2]
     
    Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Biaya pembuatan akta diatur dengan peraturan pemerintah.[3]
     
    Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:[4]
    1. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
    2. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
    3. uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
    4. nilai penjaminan; dan
    5. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
     
    Berkaitan dengan huruf b, Pasal 4 UU Fidusia menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
     
    Maka dari itu, ada perjanjian pokok yang menjadi induk dari perjanjian jaminan fidusia. Sebagai contoh, jika perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piutang tersebut.
     
    Kedudukan Kreditur dan Debitur dalam Fidusia
    Pada perjanjian utang piutang terdapat debitur dan kreditur. Dalam UU Fidusia, kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang, karena perjanjian atau undang-undang. Sedangkan debitur adalah pihak yang mempunyai utang, karena perjanjian atau undang-undang.[5]
     
    Dalam UU Fidusia tidak diatur secara eksplisit adanya kewajiban pencantuman pihak debitur dan kreditur dalam akta jaminan fidusia. Namun jika kita cermati, kreditur dan debitur wajib disebutkan identitasnya dalam akta jaminan fidusia sebagai pemberi dan penerima fidusia.
     
    Debitur sebagai pihak yang memiliki utang, tentu ingin melunasi utangnya kepada kreditur. Dalam hal perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:[6]
    1. utang yang telah ada;
    2. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau
    3. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
     
    Dalam hal debitur menjaminkan benda miliknya sebagai objek jaminan fidusia untuk pelunasan utangnya, maka debitur disebut sebagai pemberi fidusia dan kreditur sebagai yang mempunyai piutang adalah penerima jaminan fidusia.
     
    Maka, debitur dan kreditur wajib untuk dicantumkan dalam akta jaminan fidusia sebagai pemberi dan penerima jaminan fidusia.
     
    Kehadiran Debitur dalam Membuat Akta Jaminan Fidusia
    Terkait pokok pertanyaan pertama Anda, UU Fidusia tidak mengatur tentang keharusan pihak debitur untuk hadir pada saat membuat akta jaminan fidusia. Namun jika ditelusuri, perjanjian yang dibuat di hadapan notaris akan menjadi suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa perdata.
     
    Hal itu tercantum dalam Alinea Kedua Pasal 1902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
     
    Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui pentingnya sifat dari kehadiran para pihak dalam pembuatan akta tersebut. Kehadiran para pihak dapat memperkuat pembuktiannya (untuk membenarkan telah terjadi suatu peristiwa hukum) jika suatu hari terjadi permasalahan hukum.
     
    Menurut hemat kami, karena tidak dilarang UU Fidusia, pembuatan akta jaminan fidusia juga dapat diwakilkan, asalkan yang berkepentingan dalam hal ini debitur (pemberi kuasa) memberi kuasa kepada yang mewakilinya (penerima kuasa) untuk membuat akta jaminan fidusia. Ketentuan pemberian kuasa tunduk pada Pasal 1792 – Pasal 1819 KUH Perdata.
     
    Sertifikat Jaminan Fidusia
    Mengenai membedakan sertifikat asli dan palsu, hal tersebut dapat mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU Fidusia yang berbunyi:
     
    Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
     
    Sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia berisi catatan tentang pernyataan pendaftaran yang memuat:[7]
    1. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
    2. tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
    3. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
    4. uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
    5. nilai penjaminan; dan
    6. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
     
    Selain itu, jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.[8]
     
    Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, sertifikat asli hanya yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Anda juga dapat mencocokkannya dengan buku daftar fidusia yang ada di sana untuk menguji keasliannya.
     
    Selain itu, Pasal 18 UU Fidusia juga telah menerangkan bahwa segala keterangan mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.
     
    Lebih lanjut, sertifikat jaminan fidusia nantinya berfungsi juga pada saat eksekusi jaminan fidusia ketika debitur cidera janji sebagaimana diatur Pasal 15 UU Fidusia yang menerangkan bahwa:
     
      1. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
      2. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
      3. Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
     
    Patut diperhatikan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengoreksi ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia.
     
    Menurut putusan tersebut, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (hal. 125).
     
    Sedangkan, Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia sepanjang frasa “cedera janji” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji” (hal. 125).
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
     

    [1] Pasal 1 angka 2 UU Fidusia
    [2] Pasal 1 angka 5 dan 6 UU Fidusia
    [3] Pasal 5 UU Fidusia
    [4] Pasal 6 UU Fidusia
    [5] Pasal 1 angka 8 dan 9 UU Fidusia
    [6] Pasal 7 UU Fidusia
    [7] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) UU Fidusia
    [8] Pasal 14 ayat (3) UU Fidusia

    Tags

    debitor
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!