Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Direksi Menjalankan Perusahaan Jika Dilaporkan ke Polisi?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Bolehkah Direksi Menjalankan Perusahaan Jika Dilaporkan ke Polisi?

Bolehkah Direksi Menjalankan Perusahaan Jika Dilaporkan ke Polisi?
Christian Alvin ZacharyJakarta Advokasi Zeta (JAZ)
Jakarta Advokasi Zeta (JAZ)
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Direksi Menjalankan Perusahaan Jika Dilaporkan ke Polisi?

PERTANYAAN

Bagaimana status anggota direksi jika dilaporkan ke Polisi atas tindakan pidana penyalahgunaan wewenang jabatan oleh salah satu Pemegang Saham? Status belum menjadi tersangka, masih dalam tahap penyidikan sebagai saksi. Apakah masih dikatakan sah menjadi Direksi dan menjalankan Perusahaan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Larangan bagi anggota Direksi untuk mewakili Perseroan dalam keadaan-keadaan tertentu diatur dalam ketentuan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), di mana dikatakan bahwa:
     
    Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
    1. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau
    2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Anda tidak menjelaskan secara lebih detail apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Direksi. UU PT pun tidak mengatur secara eksplisit apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang. UU PT hanya mengatur bahwa seorang anggota Direksi dianggap melampaui kewenangannya, apabila Direksi tersebut dalam menjalankan perseroan:
    1. Tindakan pengurusan yang dilakukan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
    2. Tindakan anggota Direksi melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS.
     
    Jadi, meskipun yang bersangkutan baru diperiksa menjadi saksi, akan tetapi anggota Direksi tersebut tidak dapat mewakili Perseroan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam menjalankan pengurusan PT, seorang anggota Direksi haruslah menjalankan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan hal-hal yang diatur di dalam undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan perusahaan, anggota Direksi haruslah memperhatikan pula kepentingan pemegang saham. Dengan melihat bahwa anggota Direksi yang bersangkutan dilaporkan oleh pemegang saham atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, maka dapat dikatakan bahwa anggota Direksi tersebut telah memiliki benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Penjelasan lebih lanjut, silakan dibaca dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    JAZ & Partners merupakan firma hukum yang memberikan jasa hukum di bidang korporasi, khususnya di bidang general corporate, merger & acquisition, dan corporate restructuring.
    Website : www.jazplaw.com
    Telp                        : 021-7947388
    E-mail                    : [email protected]
    Intisari:
     
     
    Larangan bagi anggota Direksi untuk mewakili Perseroan dalam keadaan-keadaan tertentu diatur dalam ketentuan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), di mana dikatakan bahwa:
     
    Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
    1. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau
    2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Anda tidak menjelaskan secara lebih detail apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Direksi. UU PT pun tidak mengatur secara eksplisit apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang. UU PT hanya mengatur bahwa seorang anggota Direksi dianggap melampaui kewenangannya, apabila Direksi tersebut dalam menjalankan perseroan:
    1. Tindakan pengurusan yang dilakukan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
    2. Tindakan anggota Direksi melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS.
     
    Jadi, meskipun yang bersangkutan baru diperiksa menjadi saksi, akan tetapi anggota Direksi tersebut tidak dapat mewakili Perseroan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam menjalankan pengurusan PT, seorang anggota Direksi haruslah menjalankan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan hal-hal yang diatur di dalam undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan perusahaan, anggota Direksi haruslah memperhatikan pula kepentingan pemegang saham. Dengan melihat bahwa anggota Direksi yang bersangkutan dilaporkan oleh pemegang saham atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, maka dapat dikatakan bahwa anggota Direksi tersebut telah memiliki benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Penjelasan lebih lanjut, silakan dibaca dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita membahas terlebih dahulu mengenai Direksi. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan  sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
     
    Dengan melihat ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Direksi adalah pihak yang bertanggung jawab, untuk mewakili perseroan terbatas baik di dalam maupun di luar pengadilan.[1]
     
    Syarat menjadi Direksi dalam suatu perseroan terbatas (“PT”) menurut ketentuan Pasal 93 (1) UU PT adalah:
     
    orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 tahun sebelum pengangkatannya pernah:
    1. dinyatakan pailit;
    2. menjadi anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
    3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
     
    Kami ambil contoh direksi pada Lembaga Jasa Keuangan. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam UU PT di atas, anggota direksi pada Lembaga Jasa Keuangan menurut Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (“POJK 27/2016”) juga harus memenuhi syarat sebagai berikut:
     
    Pasal 4
    Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (termasuk anggota Direksi) memenuhi persyaratan:
    1. integritas dan kelayakan keuangan bagi calon Pemegang Saham Pengendali (PSP)[2] atau calon Pengendali Perusahaan yang merupakan pemegang saham;
    2. integritas dan reputasi keuangan bagi calon Pengendali Perusahaan Perasuransian[3] yang bukan merupakan pemegang saham;
    3. integritas, reputasi keuangan dan kompetensi bagi selain calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian.
     
    Pasal 5
    Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi:
    1. cakap melakukan perbuatan hukum;
    2. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan;
    3. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK;
    4. memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang sehat; dan tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama.
     
    Dalam menjalankan pengurusan perusahaan dan mewakili Perseroan, kedudukan Direksi adalah mandiri. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU PT yang mengatur:
     
    1. Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
    2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
     
    Selanjutnya, Pasal 98 ayat (3) UU PT mengatakan:
     
    Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam dalam Undang-Undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
     
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Direksi pada dasarnya memiliki kebebasan dalam menjalankan dan mengelola perusahaan, namun demikian terdapat pembatasan kewenangan yang diatur di dalam:
    1. Undang-undang;
    2. Anggaran Dasar; atau
    3. Keputusan RUPS.
     
    Sedangkan larangan bagi Direksi untuk mewakili Perseroan diatur di dalam ketentuan Pasal 99 (1) UU PT, di mana dikatakan bahwa:
     

    Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:

    1. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau
    2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Menjawab pertanyaan di atas, Anda tidak menjelaskan secara lebih detail apa yang dimaksud dengan “penyalahgunaan wewenang” yang dilakukan oleh Direksi. UU PT pun tidak mengatur secara eksplisit apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang. UU PT hanya mengatur bahwa seorang Direksi dianggap melampaui kewenangannya, apabila Direksi tersebut dalam menjalankan perseroan:[4]
    1. Tindakan pengurusan yang dilakukan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
    2. Tindakan Direksi melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS.
     
    Tindakan Direksi tersebut dapat juga dikategorikan sebagai Ultra Vires yang menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 65-66) adalah sebuah doktrin yang menyatakan bahwa tindakan Direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam AD. Tindakan tersebut dianggap merupakan tindakan yang “melampaui kapasitas” Perseroan.
     
    Yahya dalam buku yang sama (hal. 69) berpendapat, apabila pengurus atau Direksi perseroan melakukan ultra vires, atau dengan kata lain Direksi melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan dan kapasitas perseroan yang ditentukan dalam AD, undang-undang memberi hak kepada setiap pemegang saham mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 UU PT yang berbunyi:
     
    1. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
    2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
     
    Simak juga artikel Bentuk Tanggung Jawab Direksi Atas Tindakan Ultra Vires.
     
    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Direksi tidak berwenang untuk mewakili perseroan apabila Direksi yang bersangkutan memiliki benturan kepentingan dengan perseroan. UU PT tidak mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan benturan kepentingan. Tetapi menurut Yahya (hal. 377-378), ruang lingkup kewajiban anggota Direksi menghindari benturan kepentingan dalam melaksanakan pengurusan Perseoran meliputi:
    1. Kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property) Perseroan untuk kepentingan pribadinya. Apabila kewajiban ini dilanggar dan mengakibatkan Perseroan mengalami kerugian, anggota Direksi tersebut:
      • dikualifikasi melakukan perbuatan melawan hukum berdasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”),
      • atas perbuatan itu, anggota Direksi yang bersangkutan diancam dengan pertanggungjawaban perdata dan bahkan juga dapat dituntut pertanggungjawaban pidana, menggelapkan uang Perseroan berdasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) atau penipuan berdasar Pasal 378 KUHP.
    2. Mempergunakan informasi Perseroan untuk kepentingan pribadi. Perbuatan ini dikategori melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dipercaya (breach of fiduciary duty).
    3. Tidak mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti menerima sogokan, perbuatan itu dianggap breach of fiduciary duty.
    4. Tidak menahan atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk keuntungan pribadi. Perbuatan itu dikualifikasi sebagai perbuatan breach of his fiduciary duty.
    5. Dilarang melakukan transaksi dengan Perseroan. Tindakan itu, dikategori sebagai tindakan pihak berkepentingan (party at interest).
    6. Larangan bersaing dengan Perseroan. Pelanggaran atas larangan ini, dikategori melakukan konflik atau benturan kewajiban (duty conflict) dan dikualifikasi breach of his fiduciary duty and good faith duty.
     
    Menurut Yahya, efek dari perbuatan breach of fiduciary duty, dikategori sebagai perbuatan “ultra vires”.
     
    Pengertian benturan kepentingan juga dapat merujuk pada bagian penjelasan Pasal 12 POJK 27/2016 mengatakan bahwa:
     
    yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” antara lain perbedaan antara kepentingan ekonomis Lembaga Jasa Keuangan dengan ekonomis pribadi anggota Direksi yang bersangkutan.
     
    Pengertian benturan kepentingan juga diatur dalam angka 1 huruf e Peraturan Nomor IX.E.1 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-412/BL/2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu (“Peraturan No. IX.E.1) yang mengatakan bahwa:
     
    Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan Perusahaan dimaksud.
     
    Frase yang dapat merugikan perusahaan dapat diartikan bahwa kerugian tersebut masih bersifat potensial dan belum menjadi kerugian nyata perseroan. Frase tersebut menekankan bahwa benturan kepentingan telah terjadi apabila terjadi hal-hal yang dapat merugikan perseroan meskipun masih dalam proses pemeriksaan lebih lanjut, tanpa memperhatikan kerugian nyata. Dalam kasus ini, Direksi yang dilaporkan oleh salah satu pemegang saham atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi benturan kepentingan antara anggota Direksi tersebut dengan pemegang saham perusahaan.
     
    Dengan demikian, menurut hemat kami, meskipun yang bersangkutan baru diperiksa menjadi saksi, akan tetapi anggota Direksi tersebut tidak dapat mewakili Perseroan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam menjalankan pengurusan PT, seorang Direksi haruslah menjalankan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan memperhatikan hal-hal yang diatur di dalam undang-undang, anggaran dasar, dan keputusan RUPS. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan perusahaan, Direksi haruslah memperhatikan pula kepentingan pemegang saham. Dengan melihat bahwa Direksi yang bersangkutan dilaporkan oleh pemegang saham atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, maka dapat dikatakan bahwa Direksi tersebut telah memiliki benturan kepentingan dengan Perseroan.
     
    Dalam hal demikian, maka berdasarkan ketentuan Pasal 99 ayat (2) UU PT, Direksi yang bersangkutan tidak dapat mewakili Perseroan, akan tetapi Perseroan harus diwakili sebagai berikut:
     
    Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan adalah:
    1. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan;
    2. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau
    3. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.”
     
    Demikian penjelasan kami. Semoga dapat dipahami dan semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Referensi:
    Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016

    [1] Pasal 98 ayat (1) UU PT
    [2] PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham atau yang setara dengan saham Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas LJK (Pasal 1 angka 3 POJK 27/2016).
    [3] Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan Direksi dan Dewan Komisaris, dan/atau mempengaruhi tindakan Direksi, Dewan Komisaris pada Perusahaan Perasuransian (Pasal 1 angka 8 POJK 27/2016).
    [4] Pasal 92 ayat (2) dan 98 ayat (3) UU PT

    Tags

    rups
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!