Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Khawatir Anak Terpengaruh Agama Lain Sejak Eks Istri Menikah Lagi

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Khawatir Anak Terpengaruh Agama Lain Sejak Eks Istri Menikah Lagi

Khawatir Anak Terpengaruh Agama Lain Sejak Eks Istri Menikah Lagi
Karimatul Ummah, S.H.,M.HumPSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Khawatir Anak Terpengaruh Agama Lain Sejak Eks Istri Menikah Lagi

PERTANYAAN

Bagaimana hak asuh anak apabila mantan istri telah menikah kembali dengan pria non-Muslim? Seorang ayah Muslim pastinya khawatir dengan kondisi seperti ini di mana ada kemungkinan anak akan mendapatkan pengajaran dari agama selain Islam.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Salah satu dampak dari perceraian adalah berkenaan dengan hak asuh atas anak. Jika anak berusia kurang dari 12 tahun, maka hakim akan memberikan hak asuh anak pada ibunya. Dalam hal kebutuhan agama anak, maka secara hukum ditetapkan mengikuti agama orang tuanya, walaupun orang tua sudah berpisah.
     
    Jika pihak yang mendapat hak asuh anak menikah dengan orang non-Muslim, maka bisa dilakukan upaya komunikasi dan musyawarah agar anak tetap mendapat pengasuhan di bidang agamanya. Namun jika salah satu pihak mengabaikan pengasuhan tersebut, sehingga bisa berakibat pada pemaksaan terhadap pilihan agama anak, maka upaya yang bisa dilakukan adalah mengajukan permohonan peralihan hak pengasuhan anak ke pengadilan.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kami asumsikan anak yang Anda maksud adalah anak yang masih berada di bawah usia 12 tahun.
     
    Hak Asuh atas Anak
    Perceraian memang memutuskan hubungan hukum antara suami dan istri, tapi tidak dengan anak. Terkait hal ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak mendapatkan hak asuh atas anak yang belum berusia 12 tahun.
     
    Salah satu aturan yang mengatur secara khusus hak asuh atas anak yang orang tuanya telah bercerai melalui putusan Pengadilan Agama adalah Pasal 105 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menyatakan:
     
    Dalam hal terjadi perceraian:
    1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
    2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
    3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
     
    Namun, dalam Pasal 41 UU Perkawinan ditegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian orang tuanya, anak akan tetap memperoleh hak sebagai berikut:
    1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.
     
    Kewajiban Orang Tua yang Bercerai Terhadap Anak
    Sementara itu, kewajiban orang tua ditegaskan dalam Pasal 45 UU Perkawinan bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
     
    Pasal tersebut pada intinya memberi penegasan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi sepanjang pertumbuhan anak hingga anak dewasa.
     
    Jika terdapat ‘penguasaan anak’ secara formil oleh salah satu pihak berdasarkan putusan pengadilan, sebenarnya putusan tersebut pada hakikatnya untuk menghindari potensi atau mengakhiri perebutan anak, dengan tujuan untuk menjaga tumbuh kembang anak.
     
    Dengan demikian, penguasaan secara hukum atas anak oleh salah satu pihak, bukan berarti menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Banyak sekali setelah proses perceraian suami atau istri, mereka tidak mempersoalkan hak asuh anak, karena keduanya sepakat mengasuh dan mendidik anak secara bersama-sama.
     
    Selain itu, setiap orang tua memiliki kuasa asuh, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.[1]
     
    Berkaitan dengan agama, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) menjelaskan:
     
    1. Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
    2. Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orangtuanya.
     
    Dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak tersebut ditegaskan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
    Jika Anak Diasuh oleh Orang Non-Muslim
    Terkait pertanyaan Anda, menurut hemat kami, wajar saja jika ada kekhawatiran akan adanya pengaruh dari keluarga baru si ibu yang ternyata telah menikah dengan orang non-Muslim yang mungkin akan mempengaruhi agama si anak.
     
    Namun demikian, untuk meminimalisasi kekhawatiran tersebut, Anda dapat tetap menjalin komunikasi dan bermusyawarah dengan si ibu agar anak tetap berada dalam keyakinan agama orang tua kandungnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak di atas.
     
    Jika merujuk Pasal 6 UU 35/2014, setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali.
     
    Penjelasan Pasal 6 UU 35/2014 menegaskan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Ketentuan pasal tersebut juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.
     
    Dari penegasan Pasal 6 UU 35/2014 dan penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa ketentuan tersebut adalah dalam rangka memenuhi hak-hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.[2]
     
    Jika hak anak ini tidak bisa dipenuhi oleh orang tua kandung, maka makna orang tua bisa diperluas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU 35/2014 yang mencakup ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
     
    Dalam hal komunikasi dan musyawarah telah dilakukan dan upaya untuk tetap mempertahankan agama anak sesuai agama orang tua kandung telah diabaikan oleh salah satu pihak, sehingga bisa berakibat pada pemaksaan terhadap pilihan agama anak, maka upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengalihkan pengasuhan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 156 huruf c KHI:
     
    apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
     
    Perlu ditegaskan pula bahwa kekuasaan orang tua, termasuk untuk mengatur agama anak hanya sampai usia anak 18 tahun sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya
     
    Jika anak telah berusia 18 tahun, maka anak berhak menentukan sendiri agama yang dipilihnya berdasarkan kepercayaan dan keyakinannya.
     
    Hak ini ditegaskan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya.
     
    Selanjutnya, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable human rights).
     
    Kebebasan beragama juga ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
     
    Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU HAM juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     

    [1] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)
    [2] Pasal 1 angka 12 UU 35/2014

    Tags

    agama
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!