Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah “Menghidupkan” Kembali Pasal yang Pernah Dibatalkan MK?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bisakah “Menghidupkan” Kembali Pasal yang Pernah Dibatalkan MK?

Bisakah “Menghidupkan” Kembali Pasal yang Pernah Dibatalkan MK?
Charles Simabura, S.H., M.H.Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
Bacaan 10 Menit
Bisakah “Menghidupkan” Kembali Pasal yang Pernah Dibatalkan MK?

PERTANYAAN

Saya ada sedikit pertanyaan yang cukup mengganjal terkait dengan bagaimana sebetulnya nasib dari pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Adakah suatu putusan MK atau mungkin pendapat yang tegas melarang bahwa pasal yang telah dimatikan dilarang untuk "dihidupkan" kembali dalam revisi undang-undang barunya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam rancangan undang-undang (“RUU”).
     
    Namun jika materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh MK dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kemudian muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang telah dibatalkan tersebut dihidupkan atau dimasukkan kembali ke dalam rancangan undang-undang, maka akan besar kemungkinan setelah RUU disahkan dan diundangkan, muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut akan dimohonkan kembali pengujiannya (judicial review) ke MK. Kemungkinan ini dikarenakan memiliki materi muatan yang sama terhadap muatan pasal, ayat, dan/atau bagian yang telah dibatalkan oleh MK.
     
    Penjelasan lebih lanjut dan contoh pasal yang dihidupkan kembali dan diuji materi ke MK, silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”) kemudian diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
     
    Mengenai pertanyaan tentang adanya larangan untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”), terlebih dahulu ada beberapa poin penting mengenai hal tersebut yakni:
     
    Kewenangan Mahkamah Konstitusi
    MK merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman dibentuk setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
     
    Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa:
     
    Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
     
    Kemudian MK dikenal sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the contitution), tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
     
    DPR dan Presiden sebagai lembaga negara membentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD I945. Apablia terdapat undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka dapat dilakukan pengujian ke MK. Secara teoritis dan yuridis menurut I Dewa Gede Palguna dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, kewenangan, dan perbandingan dengan negara lain (hal. 163) terdapat dua bentuk pengujian yakni:[1]
    1. Pegujian formal yakni pengujian terhadap prosedur dan mekanisme pembentukan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945;
    2. Pengujian materil yakni pengujian terhadap materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
     
    Ketika permohonan pengujian formal terhadap suatu undang-undang dikabulkan oleh MK berarti pembentukan undang-undang itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka seluruh undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu jika suatu pengujian materil dikabulkan maka hanya materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian itu saja yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
     
    Ulasan selengkapnya mengenai pengujian formal dan pengujian materil Anda dapat simak artikel Jika UU Dicabut oleh MK, Apakah UU Terdahulu Otomatis Berlaku?.
     
    Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
    Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pengawal konstitusi, MK melakukan penafasiran terhadap konstitusi. Bentuk-bentuk penafsiran konstitusi tersebut dituangkan dalam putusan MK.
     
    Putusan MK meskipun bersifat deklaratif namun final dan mengikat. Putusan MK yang bersifat final mengandung makna bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikatnya (final and binding).[2]
     
    Putusan MK yang bersifat mengikat dapat diartikan bahwa putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, namun berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia (erga omnes) dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu merupakan konsekuensi yuridis untuk menekankan bahwa putusan hakim atau pengadilan wajib ditaati. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dipandang dari sudut kekuatannya memiliki kekuataan mengikat yang sama dengan undang-undang.
     
    Apabila suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka MK diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat melalui putusan MK. Ketika telah dinyatakan bertentangan undang-undang tersebut maka baik warga negara maupun lembaga-lembaga negara terikat untuk tunduk kepada putusan MK tersebut.
     
    Mengenai larangan dihidupkannya kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK dalam rancangan undang-undang sebagaimana yang Anda tanyakan, sebenarnya tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang hal tersebut. Dikarenakan muatan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang telah dibatalkan oleh MK merupakan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji pada waktu itu. Maka yang bertentangan adalah muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan diuji tersebut.
     
    Namun berbeda ketika materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh MK dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kemudian muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang telah dibatalkan dihidupkan atau dimasukkan kembali ke dalam rancangan undang-undang. Hal ini tentunya dalam bentuk undang-undang yang baru maka akan besar kemungkinan setelah disahkan dan diundangkan, muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut akan dimohonkan kembali pengujiannya (judicial review) ke MK. Kemungkinan ini dikarenakan memiliki materi muatan yang sama terhadap muatan pasal, ayat, dan/atau bagian yang telah dibatalkan oleh MK.
     
    Sehingga dalam batas penalaran yang wajar ketika muatan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang tersebut telah jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dibatalkan oleh Mahkamah tentunya tidak perlu dihidupkan kembali dalam rancangan undang-undang karena sudah jelas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), menyatakan bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, berikut bunyi lengkap Pasal 10 UU 12/2011:
     
    1. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:
      1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
      2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
      3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
      4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
      5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
    2. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
     
    Berdasarkan Pasal 10 UU 12/2011 tugas DPR dan Presiden adalah melaksanakan putusan MK dan bukan sebaliknya mengabaikan putusan MK.
     
    Dengan demikian, sulit kiranya menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK dalam rancangan undang-undang. Selain dikarenakan materi muatannya bertentangan dengan konstitusi, sangat besar kemungkinan akan diajukan judicial review kembali undang-undang tersebut ke MK. MK dipastikan akan merujuk putusan sebelumnya dalam hal terdapat materi muatan yang sama.
     
    Contoh Kasus
    Salah satu kasus yang menarik menyangkut pertaanyaan ini adalah munculnya kembali rumusan pasal-pasal mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RUU KUHP”). Sebagaimana diketahui, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang diajukan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis itu. Pada waktu itu Mahkamah menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang mengatur penghinaan terhadap presiden bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan dimanipulasi oleh penguasa dan pasal-pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi menariknya, melalui RUU KUHP dalam Pasal 263 – Pasal 264, kembali memuat tindak pidana penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Ancaman atas tindak pidana tersebut paling lama 5 tahun penjara bagi setiap orang yang menghina Presiden dan Wakil Presiden lewat berbagai sarana maupun media. Menurut hemat kami, pasal-pasal ini berpeluang besar untuk kembali di judicial review ke MK apalagi dalam pembahasan saat ini telah muncul banyak sekali perdebatan.
     
    Contoh lain yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 41/2014”) karena menghidupkan kembali pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 18/2009”) yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pemohon mengajukan judicial review ke MK dengan berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-VII/2009 tanggal 25 Agustus 2010. Putusan a quo membatalkan frasa “zona dalam suatu Negara” dan kata “zona” pada pasal 26C ayat (1) dan pasal 36C ayat (3) UU 18/2009 di mana frasa tersebut kembali muncul dalam UU 41/2014. Adapun dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan menyatakan frasa, ”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (2); frasa, ”Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4) dan kata ”dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) UU 18/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akhirnya permohonan pengujian UU 41/2014 tersebut diputus oleh MK dikabulkan sebagaian (inkonstitusional bersyarat) melalui putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015.
     
    Walupun demikian, bukan tidak mungkin MK memberikan putusan berbeda atas materi muatan yang sama dengan undang-undang yang pernah dibatalkan MK sebelumnya. Hal ini dapat saja terjadi manakala Hakim Konstitusi memaknai norma undang-undang yang diuji pada saat itu memiliki tafsir baru atau berbeda terhadap putusan MK sebelumnya terkait konstitusionalitas suatu norma dalam undang-undang. Dengan demikian, norma undang-undang yang sebelumnya pernah dinyatakan inkonstitusional, bisa saja dinyatakan konstitusional oleh MK kemudian hari setelah dihidupkan kembali dalam undang-undang.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006;
     
    Referensi:
    I Dewa Gede Palguna. 2018. Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, kewenangan, dan perbandingan dengan negara lain. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress).

    [1] I Dewa Gede Palguna, 2018, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, kewenangan, dan perbandingan dengan negara lain, hal.163.
    [2] Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011

    Tags

    judicial review
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Mempekerjakan TKA untuk Sementara

    21 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!