Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wali Nikah Bagi Anak Hasil Married by Accident

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Wali Nikah Bagi Anak Hasil Married by Accident

Wali Nikah Bagi Anak Hasil <i>Married by Accident</i>
Made Wahyu Arthaluhur, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Wali Nikah Bagi Anak Hasil <i>Married by Accident</i>

PERTANYAAN

Saya mempunyai teman, dari kecil dia hanya tahu nama ayahnya saja tetapi tidak pernah bertemu. Bahkan di dalam data pendidikan (rapor saat ia sekolah), nama ayahnya masih ditulis dengan nama ibunya. Dia juga tidak tahu apakah ayahnya dulu menikah sah dengan ibunya atau siri. Dia hanya dapat kabar kalau dia anak Married by Accident (MBA). Setiap kali bertanya, ibunya tidak mau menjelaskan perihal ayah kandungnya. Yang saya ingin tanyakan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya kalau seandainya dia anak MBA? Apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengannya atau tidak? Terima kasih

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil Married by Accident (“MBA”) adalah anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya.
     
    Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara itu, Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga menyatakan anak yang sah adalah:
    a.    anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
    b.    hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
     
    Anak yang sah memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya. Sehingga teman Anda yang merupakan anak yang lahir dari hubungan MBA masih memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.
     
    Mengenai wali nikah, Pasal 20 ayat (2) KHI mengatur bahwa wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
     
    Berdasarkan klasifikasi wali nasab sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KHI, karena teman Anda lahir dalam perkawinan yang sah dan memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya, maka yang utamanya dapat menjadi wali nikah adalah ayah teman Anda, karena ayah terletak dalam kelompok kekerabatan pertama (kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya).
     
    Apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengan teman Anda menjadi wali nikah? Oleh karena wali nikah harus mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan, maka kakak laki-laki seibu tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak termasuk ke dalam wali nasab.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:
     
     
    Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil Married by Accident (“MBA”) adalah anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya.
     
    Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara itu, Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga menyatakan anak yang sah adalah:
    a.    anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
    b.    hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
     
    Anak yang sah memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya. Sehingga teman Anda yang merupakan anak yang lahir dari hubungan MBA masih memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.
     
    Mengenai wali nikah, Pasal 20 ayat (2) KHI mengatur bahwa wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
     
    Berdasarkan klasifikasi wali nasab sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KHI, karena teman Anda lahir dalam perkawinan yang sah dan memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya, maka yang utamanya dapat menjadi wali nikah adalah ayah teman Anda, karena ayah terletak dalam kelompok kekerabatan pertama (kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya).
     
    Apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengan teman Anda menjadi wali nikah? Oleh karena wali nikah harus mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan, maka kakak laki-laki seibu tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak termasuk ke dalam wali nasab.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Anda menanyakan siapa yang berhak menjadi wali nikah apabila teman Anda adalah anak hasil dari Married by Accident (MBA).
     
    Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil Married by Accident adalah sebagaimana dijelaskan dalam artikel Status Hukum Anak Married by Accident, yaitu anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya.
     
    Kedudukan Anak Hasil Married by Accident
    Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.[1] Selain itu, setiap perkawinan juga harus dicatatkan.[2] Sebagaimana dikutip dalam artikel Banyak Sebab Perkawinan Tidak Dicatat, jika perkawinan tidak tercatat, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum di mata Negara.
     
    Sementara dilihat dari Hukum Islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) anak yang sah adalah:
    1. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
    2. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
     
    Dalam hukum Islam juga ada yang dinamakan dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam Pasal 53 KHI, yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
     
    Dalam hal ini, baik hukum positif maupun hukum Islam sama-sama menganggap selama anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan sah kedua orangtuanya, anak tersebut adalah anak yang sah dari keduanya. Lalu bagaimana dengan teman Anda?
     
    Jadi, apabila Married by Accident yang Anda maksud adalah teman Anda merupakan anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan namun kemudian pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya, maka ia memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya.
     
    Wali Nikah Sebagai Salah Satu Rukun Perkawinan
    Perkawinan dalam Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam yakni harus ada:[3]
    1. Calon suami;
    2. Calon istri;
    3. Wali nikah;
    4. Dua orang saksi; dan
    5. Ijab dan qabul.
     
    Mengenai wali nikah, dalam perkawinan, adanya wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.[4] Yang bertindak sebagai wali nikah haruslah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.[5]
     
    Anda dapat menyimak artikel terkait Bolehkah Ayah Angkat Menjadi Wali Nikah.
     
    Macam-Macam Wali Nikah dan Urutannya
    Wali nikah terdiri dari:[6]
    1. wali nasab (kerabat); dan
    2. wali hakim.
     
    Wali nasab menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim (“Permenag 30/2005”) adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.
     
    Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Adapun kelompok-kelompok wali nikah:[7]
    1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
    2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
    3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
    4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
     
    Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.[8] Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak wali bergeser ke wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[9] 
     
    Sementara, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.[10] Adapun yang dimaksud dengan wali hakim menurut Pasal 1 angka 2 Permenag 30/2005 adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
     
    Anda dapat menyimak artikel terkait Sahkah Perkawinan Jika Wali Nikah Bukan Orang Tua Mempelai Wanita
     
    Yang Berhak Menjadi Wali Nikah
    Karena teman Anda lahir dalam perkawinan yang sah dan memiliki hubungan hukum dengan ayah dan ibunya, maka yang utamanya dapat menjadi wali nikah adalah ayah teman Anda, karena dalam kelompok kekerabatan pertama sebagaimana dijelaskan di atas ayah teman Anda yang memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan teman Anda.
     
    Kemudian dalam pertanyaan Anda yang menanyakan apakah bisa kakak laki-laki yang seibu dengan teman Anda menjadi wali nikah. Perlu dipahami kembali di sini pengertian dari wali nasab, menurut Sayuti Thalib, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 65):
     
    Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan itu.
     
    Hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan ini juga telah ditegaskan dalam definisi wali nasab dalam Pasal 1 angka 1 Permenag 30/2005, yaitu pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.
     
    Oleh karena wali nikah harus mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan, maka kakak laki-laki seibu tidak dapat menjadi wali nikah karena tidak termasuk ke dalam wali nasab, sejalan dengan hal itu, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI dapat dilihat bahwa yang termasuk ke dalam wali nasab dalam kelompok kekerabatan kedua adalah hanya saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau saudara laki-laki seayah, tidak ada saudara laki-laki seibu.
     
    Perlu diingat apabila masih ada pihak dalam kelompok kekerabatan pertama, yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, dan pihak-pihak tersebut tidak menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka kelompok kekerabatan kedua tidak dapat menjadi wali nikah.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
     

    [1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
    [2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
    [3] Pasal 14 KHI
    [4] Pasal 19 KHI
    [5] Pasal 20 ayat (1) KHI
    [6] Pasal 20 ayat (2) KHI
    [7] Pasal 21 ayat (1) KHI
    [8] Pasal 21 ayat (2) KHI
    [9] Pasal 22 KHI
    [10] Pasal 23 ayat (1) KHI

    Tags

    kawin
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!