KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Memotong Jatah Cuti Karyawan yang Mangkir?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Bolehkah Memotong Jatah Cuti Karyawan yang Mangkir?

Bolehkah Memotong Jatah Cuti Karyawan yang Mangkir?
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Memotong Jatah Cuti Karyawan yang Mangkir?

PERTANYAAN

Bisakah pengusaha/perusahaan memotong cuti karyawan yang mangkir kerja?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) memang tidak diatur apakah pengusaha/pemberi kerja dapat memotong hak cuti karyawan yang mangkir. Namun menurut hemat kami, pemotongan yang dapat dilakukan pengusaha/pemberi kerja kepada karyawan  tersebut adalah pemotongan upah. Pemotongan upah dibenarkan menurut Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan karena karyawan tidak melakukan pekerjaan berdasarkan prinsip no work no pay.
     
    Namun kami juga menyarankan Anda untuk melihat kembali ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) memang tidak diatur apakah pengusaha/pemberi kerja dapat memotong hak cuti karyawan yang mangkir. Namun menurut hemat kami, pemotongan yang dapat dilakukan pengusaha/pemberi kerja kepada karyawan  tersebut adalah pemotongan upah. Pemotongan upah dibenarkan menurut Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan karena karyawan tidak melakukan pekerjaan berdasarkan prinsip no work no pay.
     
    Namun kami juga menyarankan Anda untuk melihat kembali ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
     
    Waktu istirahat dan cuti tersebut, meliputi:[1]
    1. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
    2. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
    3. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
    4. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
     
    Kami asumsikan cuti yang Anda maksud adalah cuti tahunan, dan karyawan telah bekerja selama 1 tahun secara terus menerus atau lebih, sehingga telah mendapatkan hak untuk mengambil cuti. Selanjutnya mengenai pemotongan cuti tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan.
     
    Jika pengusaha/pemberi kerja melanggar ketentuan Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijabarkan diatas, maka pengusaha dapat dikenakan tindak pidana pelanggaran.[2]
     
    Dalam hal ini, pengusaha yang tidak memberikan cuti pekerja/buruh, berdasarkan Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 100 juta.
     
    Pekerja Mangkir Bisa Dikualifikasikan Mengundurkan Diri
    Menurut Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terhadap pekerja yang mangkir tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri, namun ini berlaku hanya untuk pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut. Dengan catatan, pada saat pekerja yang mangkir setelah 5 hari, kembali masuk bekerja tidak menyerahkan keterangan tertulis dengan bukti yang sah kepada pengusaha.[3]
     
    Atas pengunduran diri tersebut, berdasarkan Pasal 162 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, perusahaan tidak perlu melalui proses Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”), yakni tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
     
    Hak-Hak Pekerja yang Mengundurkan Diri
    Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, jika pegawai terbukti mangkir dari pekerjaanya (lebih dari 5 hari), maka berdasarkan Pasal 168 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Uang penggantian hak tersebut berupa:[4]
    1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
    2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana Pekerja/buruh diterima bekerja;
    3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
    4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
     
    Langkah Pengusaha Jika Karyawan Mangkir
    Dalam UU Ketenagakerjaan memang tidak diatur bahwa apakah pengusaha/pemberi kerja dapat memotong hak cuti karyawan yang mangkir. Namun menurut hemat kami, pemotongan yang dapat dilakukan pengusaha/pemberi kerja kepada karyawan  tersebut adalah pemotongan upah. Pemotongan upah dibenarkan menurut Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, karena karyawan tidak melakukan pekerjaan. Ini   berkaitan dengan prinsip no work no pay. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak Bolehkah Pengusaha Memotong Gaji Karyawan Tanpa Ada Sosialisasi?.
     
    Namun kami juga menyarankan Anda untuk melihat kembali ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    [1] Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [2] Pasal 187 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 168 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan

    Tags

    mangkir
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!