Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Mantan Suami Tidak Nafkahi Anak Sesuai Putusan Hakim

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Jika Mantan Suami Tidak Nafkahi Anak Sesuai Putusan Hakim

Jika Mantan Suami Tidak Nafkahi Anak Sesuai Putusan Hakim
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Mantan Suami Tidak Nafkahi Anak Sesuai Putusan Hakim

PERTANYAAN

Saya telah bercerai dengan mantan suami saya 14 bulan yang lalu. Majelis hakim telah memutuskan bahwa mantan suami saya diwajibkan untuk menafkahi 4 orang anak saya sejumlah Rp4 juta setiap bulannya. Tetapi mantan suami saya tersebut tidak memberikan nafkah anak setelah perceraian sebesar putusan pengadilan yang ditentukan, sedangkan kebutuhan untuk 4 orang anak kurang. Apa langkah hukum yang harus saya lakukan agar kebutuhan anak-anak saya bisa tercukupi?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, berdasarkan UU 35/2014, dalam hal terjadi perceraian, seorang anak tetap memiliki hak salah satunya memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya. Kemudian, berdasarkan UU Perkawinan, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

    Lantas, bagaimana jika mantan suami tidak memberikan nafkah anak setelah perceraian sebesar putusan hakim yang ditentukan? Berapa besar nafkah anak setelah bercerai?

    Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. pada Senin, 3 Desember 2018.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Pasca Perceraian

    Kewajiban mantan suami (atau orang tua) memberikan nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 UU Perkawinan yakni:

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

    1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

    Berdasarkan peraturan tersebut, apabila setelah ada perceraian hakim memutuskan bahwa mantan suami wajib memberikan nafkah atau biaya penghidupan, maka hal tersebut wajib dilaksanakan oleh mantan suami.

    Penjelasan selengkapnya mengenai kewajiban suami untuk memberikan nafkah istri setelah  perceraian, dapat Anda baca dalam artikel Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai.

    Kemudian, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, sebagai orang tua dari anak-anak, mantan suami atau mantan istri juga berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

      1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
      2. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
      3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
      4. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

    Selanjutnya, pada dasarnya setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.[1] Adapun yang dimaksud dengan pemisahan adalah pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, atau anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.[2] Dalam hal terjadi pemisahan, anak tetap memiliki hak salah satunya memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya.[3]

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak tetap berhak memperoleh nafkah meskipun orang tua sudah bercerai. Selanjutnya, berdasarkan pertanyaan Anda, memang benar bahwa mantan suami Anda telah melaksanakan kewajibannya dan bertanggung jawab terhadap anak sesuai Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014. Namun, apa hukumnya jika seorang mantan suami tidak memberikan nafkah anak setelah cerai sebesar putusan hakim yang ditentukan? Berikut ulasannya.

    Ketentuan Besaran Nafkah Anak Setelah Cerai

    Ketentuan mengenai berapa besar nafkah anak setelah bercerai tidak diatur secara spesifik dalam UU Perkawinan maupun KHI. Akan tetapi, besarnya perhitungan nafkah anak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang hanya berlaku bagi pekerjaan tertentu. Berikut adalah contohnya.

    1. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), yaitu apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria, maka ia wajib
      menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) PP 10/1983. Kemudian, pembagian gaji adalah sepertiga untuk PNS pria yang bersangkutan, 1/3 untuk bekas istrinya dan 1/3 untuk anak atau anak-anaknya.[4]
    2. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai anggota Polri, yaitu suami wajib memberikan nafkah kepada anak paling sedikit 1/3 dari gaji jika hak asuh sementara berada pada istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b Perkapolri 9/2010.
    3. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) atau pegawai Kementerian Pertahanan (“Kemhan”). Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Permenhan 31/2017, pegawai Kemhan yang telah bercerai dengan istrinya wajib memberikan nafkah kepada mantan istri yang dicerai dan/atau kepada anak yang diasuhnya, sesuai dengan putusan pengadilan.

    Lebih lanjut, bagi yang beragama Islam, ketentuan mengenai biaya nafkah anak dapat ditemukan dalam Lampiran SEMA 7/2012 (hal. 106) yang berbunyi sebagai berikut:

    Apakah yang menjadi kriteria penentuan besaran mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak? Kriterianya adalah dengan mempertimbangkan kemampuan suami dan kepatutan, seperti lamanya masa perkawinan besaran take home pay suami.

    SEMA 7/2012 kemudian disempurnakan oleh Lampiran SEMA 3/2018 (hal. 14) sebagai berikut:

    Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak.

    Kemudian, Lampiran SEMA 3/2015 (hal. 6) juga menegaskan bahwa amar mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan.

    Jika Mantan Suami Tidak Menafkahi Sesuai Putusan Hakim

    Apabila pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi anak-anaknya namun ia menolaknya atau tetap menafkahi tetapi tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh hakim pada putusan pengadilan, sehingga nafkah yang diberikan tidak menutupi kebutuhan anak, maka hal itu dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakpatuhan atas putusan pengadilan. Dengan demikian, berikut adalah upaya hukum yang dapat Anda lakukan.

    Pasal 54 UU Peradilan Agama mengatur bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang tersebut. Namun, karena UU Peradilan Agama tidak mengatur secara khusus mengenai upaya hukum terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan, maka dalam hal ini berlaku HIR. Kemudian, perlu dipahami bahwa upaya yang dimaksud dalam HIR berlaku untuk perceraian melalui Pengadilan Negeri, maupun melalui Pengadilan Agama.

    Jika seseorang tidak mematuhi putusan pengadilan, maka terkait hal ini Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa:

    Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

    Berdasarkan aturan tersebut, Anda dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Agama tergantung hukum apa yang Anda gunakan saat bercerai. Jika secara hukum Islam, permintaan dapat diajukan melalui Pengadilan Agama, dan selain itu dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri. Hal tersebut agar Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Agama memanggil dan memperingatkan mantan suami guna memenuhi nafkah sesuai putusan perceraian paling lambat 8 hari setelah diperingatkan.

    Selanjutnya, Pasal 197 HIR (alinea ke-1) menyebutkan:

    Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

    Baca juga: Hak-hak Istri yang Menggugat Cerai Suami

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Herzien Inlandsch Reglement;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
    4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;
    6. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017 tentang Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Pertahanan;
    7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas  Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    8. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
    9. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan;
    10. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan;
    11. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

    [1] Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”).

    [2] Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014.

    [3] Pasal 14 ayat (2) huruf c UU 35/2014.

    [4] Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

    Tags

    hak anak
    kompilasi hukum islam

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!