Intisari:
Menurut Edmon Makarim, jika ada kasus yang salah mengartikan emoji sebagai hate speech yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), itu artinya fokus pada hate speech tersebut bukan pada emoji-nya. Emoji tidak bisa berdiri sendiri tanpa tekstual kalimatnya. Dengan kata lain, jika hanya penggunaan emoji saja tanpa ada kata-kata yang menjadi ukuran, tentu akan sulit melihat adanya hate speech. Emoji adalah ikon dalam percakapan, jadi tidak bisa berdiri sendiri. Selain itu, menurut Teguh Arifiyadi, emoji itu adalah ekspresi, sangat kecil kemungkinan untuk adanya unsur SARA atau hate speech. Namun menurutnya, penggunaan emoji tanpa rangkaian kata-kata ( emoji berdiri sendiri) dimungkinkan untuk dikenakan penghinaan ringan yang diatur di Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun penghinaan tersebut dilakukan melalui media elektronik (Contoh: menggunakan emoji jari tengah). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Berikut bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Tujuan dari Pasal 28 UU ayat (2) ITE ialah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut
Josua Sitompul, S.H., IMM, yang tergabung dalam
Indonesia Cyber Law Community (ICLC), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
Penerapan hukum jika ada seseorang yang menuliskan status di media sosial berisi informasi yang memprovokasi suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka sanksi di Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.
Lalu bagaimana dengan penggunaan emoji? Apakah menggunakan emoji tertentu dapat dikatakan menyinggung SARA? Apakah jika emoji yang digunakan menyinggung orang lain dapat dipidana?
A small digital image or icon used to express an idea or emotion.
Pengertian emoji di atas sejalan dengan pendapat dari Edmon Makarim, Pakar Hukum Telekomunikasi dan Informatika dari Universitas Indonesia, bahwa pada dasarnya jika emoji dipilih dengan sengaja, maka ia adalah representasi ekspresi seseorang. Menurutnya, emoji yang mempunyai konotasi positif tidak dapat diartikan negatif, jika terjadi seperti itu maka sudah menjadi perspektif lain. Namun diperhatikan kembali bahwa emoji dilihat dari maksud dari penggunaan emoji itu.
Jika ada kasus yang salah mengartikan emoji sebagai hate speech yang mengandung unsur SARA, menurutnya itu artinya fokus pada hate speech tersebut bukan pada emoji-nya. Emoji tidak bisa berdiri sendiri tanpa tekstual kalimatnya. Dengan kata lain, jika hanya penggunaan emoji saja tanpa ada kata-kata yang menjadi ukuran, tentu akan sulit melihat adanya hate speech. Emoji adalah ikon dalam percakapan, jadi tidak bisa berdiri sendiri seharusnya.
Beliau juga menambahkan bahwa dalam setiap komunikasi pun harusnya dilihat mana yang aksi dan yang mana reaksi. Terkadang lebih banyak menyalahkan reaksi padahal bisa jadi penyulutnya adalah aksi yang ofensif atau provokatif. Sehingga harus dilihat secara utuh dulu bagaimana rangkaian komunikasi itu terjadi.
Pendapat sama dikemukakan Teguh Arifiyadi, Kepala Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mengatakan bahwa pada dasarnya
emoji adalah ekspresi yang maknanya disepakati secara universal. Menurutnya,
emoji itu adalah ekspresi, sangat kecil kemungkinan untuk adanya unsur SARA atau
hate speech. Namun menurutnya,
penggunaan emoji tanpa rangkaian kata-kata (emoji berdiri sendiri) dimungkinkan untuk dikenakan penghinaan ringan yang diatur di Pasal 315
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), meskipun penghinaan tersebut dilakukan melalui media elektronik (Contoh: menggunakan
emoji jari tengah). Bunyi dari Pasal 315 KUHP adalah sebagai berikut:
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Ia juga menambahkan bahwa ada kemungkinan emoji memberi dampak terjadinya hate speech jika hal tersebut merupakan bagian dari rangkaian kata-kata yang berbentuk narasi. Akan tetapi tentunya akan dilakukan pemeriksaan yang mendalam dengan melibatkan ahli-ahli bahasa, simbol, dan lain sebagainya, yang ditujukan untuk mencari makna yang sesungguhnya dalam dugaan hate speech yang dimaksud.
Karena Anda tidak memberikan kasus konkrit kepada kami, maka kami contohkan penggunaan emoji yang membuat pihak lain tersinggung yang Anda maksud adalah sebagai berikut:
Contoh 1: A membuat status atau membalas percakapan di media sosial yang ditujukan kepada si B dengan menggunakan emoji senyum sebagai tanda mengungkapkan rasa bahagia. Namun ternyata si B malah tersindir dengan status yang diunggah A.
Contoh 2: A membuat status atau membalas percakapan di media sosial dengan menggunakan emoji dengan simbol jari tengah kepada B, yang mana kita tahu bahwa emoji tersebut berkonotasi negatif.
Contoh 3: A membuat status dengan suatu kalimat dengan menggunakan beberapa emoji lain, yang mana satu rangkaian kalimat beserta emoji tersebut bernada mencaci maki terhadap golongan tertentu atau seseorang, sehingga yang bersangkutan merasa tersindir.
Jika melihat Contoh 1, dengan berpegang kepada dua pendapat ahli di atas, maka harus dilihat terlebih dahulu apakah emoji tersebut berdiri sendiri atau tidak. Jika emoji itu adalah bagian dari sebuah narasi atau kalimat dari percakapan untuk dikatakan hate speech atau SARA perlu ada pemeriksaan yang mendalam yang melibatkan banyak ahli.
Pada Contoh 2 dapat dikenakan penghinaan ringan sebagaimana diatur di Pasal 315 KUHP.
Lalu terhadap Contoh 3, terhadap caci maki yang dilakukannya tentunya menyulut emosi seseorang atau golongan lain yang menimbulkan kebencian, sehingga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Catatan:
Penjawab telah melakukan wawancara dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M, via WhatsApp pada 20 September 2018 pukul 16.13 WIB.
Penjawab telah melakukan wawancara dengan Teguh Arifiyadi, S.H., M.H., via telepon pada 21 September 2018 pukul 14.00 WIB.