Intisari:
Sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dengan alasan perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan. Berdasarkan Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK yang dilakukan dengan alasan tersebut di atas, batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pertama-tama, harus dipahami terlebih dahulu bahwa berdasarkan Pasal 151 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”).
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
[1]
Selanjutnya, jika perundingan juga tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
[2]
Jika terjadi PHK, maka pengusaha (perusahaan) diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (“UPMK”), serta uang penggantian hak (“UPH”) yang seharusnya diterima oleh pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Karena Anda sudah 7 tahun bekerja maka sesuai Pasal 156 ayat (2) huruf h UU Ketenagakerjaan, Anda berhak atas uang pesangon sebesar 8 (delapan) bulan upah. Anda pun berhak atas uang penghargaan masa kerja sebesar 3 (tiga) bulan upah, mengacu ke Pasal 156 ayat (3) huruf b UU Ketenagakerjaan. Selain itu, berdasarkan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan Anda pun berhak atas uang penggantian hak atas:
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Yang menjadi pokok pembahasan adalah apakah alasan sebenarnya (perbedaan aliran politik) dari PHK yang dilakukan oleh perusahaan Anda dapat dibenarkan oleh undang-undang?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan, bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
Berdasarkan Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK yang dilakukan dengan alasan tersebut di atas, batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Mengenai perselisihan PHK ini, pertama Anda dapat melakukan perundingan dengan pihak perusahaan (bipartit), apabila perundingan bipartit tidak terjadi kesepakatan maka langkah selanjutnya adalah penyelesaian melalui konsiliasi (tripartit) ataupun melalui mediasi dengan perusahaan dan mediator, jika tetap tidak terjadi kesepakatan maka Anda dapat menempuh tahap akhir yaitu mengajukan gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sesuai dengan domisili perusahaan tempat Anda bekerja.
[3]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan