Intisari :
Perlu dipahami juga bahwa pihak yang dirugikan harus melapor agar pelakunya dapat diproses secara hukum. Jika tidak ada laporan maka pelaku tidak dapat dipidana. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebagaimana disebutkan di Pasal 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), pada dasarnya UU ITE
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Perlu diketahui juga bahwa pada dasarnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) itu
tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Hal ini menunjukkan bahwa anggota Polri merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer.
Perihal polisi yang menyebarkan video pernikahan tahanan di masjid area kantor polisi dengan cara mengunggahnya di media sosial, mari kita lihat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur yang harus diperhatikan ialah:
Setiap orang (siapapun, merujuk ke Pasal 2 UU ITE);
Dengan sengaja dan tanpa hak;
Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Sementara yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225), dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, yang dimaksud “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Sebagai catatan, karena tindak pidana terkait penghinaan dan pencemaran nama baik yang dapat dijerat dengan UU ITE sangat kasuistis, maka tidak dipungkiri bahwa diperlukan ahli-ahli yang mumpuni dalam menangani perkara-perkara seperti ini.
[1]
Mengenai sanksinya disebutkan di Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 sebagai berikut:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perlu dipahami juga, secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 45 ayat (5) UU 19/2016 bahwa ketentuan pidana dalam UU ITE terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Artinya terhadap tindak pidana ini, pihak yang dirugikan harus melapor agar pelakunya dapat diproses secara hukum. Jika tidak ada laporan maka pelaku tidak dapat dipidana.
Terhadap tindakan pelaku, seharusnya ia menanyakan terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut boleh direkam dan disebarluaskan. Jika ia telah mendapatkan izin berarti ia telah memiliki hak untuk melakukan itu itu dan juga narapidana yang melangsungkan pernikahan tidak merasa keberatan atau terhina sehingga kecil kemungkinannya Anda dapat dikenakan sanksi yang disebutkan dalam Pasal 45 ayat (5) UU 19/2016.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
[1] Lihat Pasal 43 ayat (5) huruf j UU 19/2016