Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukumnya Jika Narapidana Kabur Saat Gempa Bumi yang dibuat oleh Dimas Utomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 18 Oktober 2018.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Narapidana dan Lapas
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut lapas adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pembinaan terhadap narapidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 18 UU Pemasyarakatan. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenkumham 33/2015, lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan, yang sedang menjalani pembinaan di lapas, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemasyarakatan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Permenkumham 33/2015, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di dalam lapas.
Penindakan dalam Rangka Penyelenggaraan Keamanan di Lapas
Kemudian pada dasarnya, dalam hal narapidana kabur atau melakukan pelarian, maka akan dilakukan penindakan[1] sebagai upaya menghentikan, meminimalisir, dan melokalisir gangguan keamanan dan ketertiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Permenkumham 33/2015.
Kegiatan penindakan tersebut merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pengamanan.[2] Dalam melakukan penindakan, petugas lapas wajib menggunakan kekuatan berkelanjutan dengan cara:[3]
- kehadiran petugas lapas atau Rumah Tahanan Negara (“rutan”);
- perintah lisan;
- kekuatan fisik teknik ringan;
- kekuatan fisik teknik keras dan melumpuhkan; dan
- kekuatan yang dapat mematikan.
Serupa dengan ketentuan dalam Permenkumham 33/2015, tujuan dilakukannya penindakan juga diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Pemasyarakatan yaitu sebagai upaya untuk menghentikan, mengurangi, dan melokalisasi gangguan keamanan dan ketertiban.
Adapun bentuk wewenang penindakan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU Pemasyarakatan adalah:
- mengamankan barang terlarang;
- menggunakan kekuatan;
- menjatuhkan sanksi; dan
- menjatuhkan tindakan pembatasan
Kemudian, bentuk dari sanksi yang dapat dijatuhkan bagi narapidana berupa:[4]
- penempatan dalam sel pengasingan paling lama 12 hari; dan/atau
- penundaan atau pembatasan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf k UU Pemasyarakatan yaitu “menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat” dan Pasal 10 ayat (1) UU Pemasyarakatan mengenai “hak remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sebagai informasi, sanksi berupa penempatan dalam sel pengasingan paling lama 12 hari tidak diberikan bagi narapidana perempuan dalam fungsi reproduksi.[5]
Lebih lanjut, penting untuk diketahui bahwa dalam menjatuhkan sanksi kepada narapidana, Petugas Pemasyarakatan wajib memperlakukan narapidana secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang, juga mendasari tindakannya pada peraturan tata tertib lapas.[6]
Penindakan Terhadap Keadaan Tertentu
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, gempa bumi kami asumsikan sebagai bencana alam, yang termasuk dalam keadaan tertentu. Penindakan terhadap keadaan tertentu dilakukan oleh tim tanggap darurat[7] yang berada di bawah koordinasi Kepala Lapas.[8] Adapun penindakan terhadap keadaan tertentu dilakukan dalam hal terjadi:[9]
- pemberontakan;
- kebakaran;
- bencana alam; dan/atau
- penyerangan dari luar.
Penindakan pengamanan dalam keadaan tertentu, jika dalam hal ini terjadi gempa bumi, dilakukan dengan cara:[10]
- membunyikan tanda bahaya;
- mengamankan orang, lokasi, barang atau tempat kejadian perkara; dan/atau
- mengamankan pelaku yang diduga dapat menimbulkan atau melakukan ancaman gangguan keamanan dan ketertiban.
Berdasarkan beberapa ketentuan di atas, terdapat tahapan yang harus dilakukan jika terjadi bencana alam. Namun menurut hemat kami, pada praktiknya sulit untuk melakukan penindakan pengamanan dalam keadaan tertentu jika terjadi bencana alam seperti gempa bumi.
Kemudian, disarikan dari Menyoal Narapidana yang Kabur Saat Terjadi Gempa dari Kacamata Hukum, menurut Mudzakir, Dosen Pidana Universitas Islam Indonesia, jika narapidana tidak melarikan diri dalam kondisi bencana, maka jiwanya bisa terancam. Dengan demikian, secara filosofis jika terjadi pertentangan antara kepentingan kemanusiaan dengan kepentingan hukum, maka kepentingan kemanusiaan harus didahulukan.
Baca juga: 1.420 Narapidana Kabur Akibat Gempa dan Tsunami di Sulteng
Apakah Narapidana yang Kabur Dikenakan Sanksi Pidana?
Dalam hal ini menurut hemat kami, tetap berlaku pasal mengenai narapidana yang melarikan diri, sebagaimana diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[11] yaitu tahun 2026, sebagai berikut.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 34 Jika terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana. | Pasal 63 Jika narapidana melarikan diri, masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara. |
Berdasarkan kedua pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada sanksi pidana bagi narapidana yang kabur dari lapas. Namun, Pasal 34 KUHP dan Pasal 63 UU 1/2023 memiliki arti bahwa masa menjalani pidana baru dihitung kembali setelah narapidana yang kabur kembali ke lapas. Maka dari itu, jika keadaan sudah kondusif, narapidana yang kabur walaupun alasannya untuk menyelamatkan diri harus segera kembali karena hal ini terkait dengan masa menjalani pidananya.
Walaupun demikian, sebagai informasi, terhadap narapidana dengan risiko tinggi, salah satunya yang memiliki potensi untuk melarikan diri diberikan pelayanan atau pembinaan khusus berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan.[12] Pelayanan atau pembinaan narapidana yang memiliki potensi untuk melarikan diri meliputi penempatan dalam tempat tertentu dan pemberian program Pelayanan atau Pembinaan yang berkoordinasi dengan instansi terkait.[13]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
[2] Pasal 6 huruf b Permenkumham 33/2015.
[3] Pasal 23 ayat (1) dan (2) Permenkumham 33/2015.
[5] Pasal 67 ayat (2) UU Pemasyarakatan.
[6] Pasal 68 UU Pemasyarakatan.
[7] Pasal 24 ayat (1) Permenkumham 33/2015.
[8] Pasal 24 ayat (3) Permenkumham, 33/2015.
[9] Pasal 24 ayat (2) Permenkumham 33/2015.
[10] Pasal 25 Permenkumham 33/2015.
[12] Pasal 54 ayat (1) UU Pemasyarakatan jo. Penjelasan Pasal 54 ayat (1) UU Pemasyarakatan.
[13] Pasal 54 ayat (3) UU Pemasyarakatan.