Intisari :
Upaya hukum administrasi, perdata, dan pidana dapat Anda lakukan sebagai langkah hukum atas kerugian yang Anda alami karena itu merupakan hak Anda sebagai warga negara. Untuk upaya hukum perdata, kerugian bukan berarti Anda harus terkena sakit terlebih dahulu, konsep kerugian di sini sangat luas. Kerugian bisa berupa apa saja. Semisal atas gangguan suara tersebut Anda tidak bisa tidur, yang menyebabkan produktifitas Anda berkurang. Namun poin pentingnya adalah suara keras tersebut haruslah “melawan hukum”. Lalu apa saja unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Izin Gangguan untuk Mendirikan Kafe
Di Pasal 140
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) disebutkan bahwa Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Pada Pasal 141 huruf c UU 28/2009 disebutkan bahwa jenis retribusi perizinan tertentu salah satunya adalah Retribusi Izin Gangguan.
Obyek dari retribusi izin gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
[1]
Untuk subjek retribusi izin gangguan adalah orang atau badan yang mendapatkan izin gangguan setelah diberikan izin oleh pemerintah daerah.
Berarti kafe dapat dikatakan sebagai subjek retribusi izin gangguan didasari Pasal 147 UU 28/2009.
Terkait dengan izin kafe, kita dapat melihat di Pasal 1 ayat (1) angka 20
Hinder Ordonanntie Staatsblaad 1926 No. 226 (“UU Gangguan”) bahwasanya dilarang mendirikan bangunan-bangunan tempat bekerja berupa warung-warung dalam bangunan yang tetap tanpa izin; demikian pula segala pendirian-pendirian yang lain, yang dapat mengakibatkan bahaya, kerugian atau gangguan. Di sini menurut hemat kami, kafe termasuk dalam warung yang dimaksud oleh UU Gangguan.
Upaya Atas Kerugian dari Gangguan Suara yang Disebabkan oleh Kafe
A. Upaya Hukum Administrasi
Terkait dengan suara keras yang menganggu Anda, dilihat dahulu dimana Anda tinggal. Jika daerah Anda masih mensyaratkan izin gangguan untuk kafe, dapat ditanyakan terlebih dahulu apakah kafe tersebut memiliki izin gangguan atau tidak. Jika daerah tidak mensyaratkan izin gangguan seperti kota Surabaya, maka Anda dapat menanyakan izin terkait (yaitu IMB). Dalam hal ini Anda dapat melaporkannya ke Satpol PP, karena Satpol PP bertugas untuk menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan perlindungan hukum kepada masyarakat.
[2]
Jika kafe telah memiliki izin gangguan atau izin terkait dengan ketertiban umum, namun Anda keberatan dengan izin gangguan tersebut. Anda dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. (Selengkapnya baca:
Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara).
B. Upaya Hukum Pidana
Bukan berarti jika suatu daerah tidak memiliki izin gangguan pemiliki usaha kafe dapat dengan bebas membuat keributan dengan suara keras. Anda dapat melihat Pasal 503 angka 1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
Dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp 225, barangsiapa membuat riuh atau ingar, sehingga pada malam hari waktunya orang tidur dapat terganggu.
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Karena ini termasuk dalam lingkup pidana, berarti Anda juga dapat melaporkannya ke pihak Kepolisian dalam hal kafe membuat keributan dengan suara keras.[3]
C. Upaya Hukum Perdata
Terdapat juga upaya gugatan perdata dalam hal Anda dirugikan oleh kafe tersebut. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menjadi dasar untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH), yaitu :
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Dalam terjadi PMH, kerugian bukan berarti Anda harus terkena sakit terlebih dahulu, konsep kerugian di sini sangat luas. Kerugian bisa berupa apa saja. Semisal atas gangguan suara tersebut Anda tidak bisa tidur, yang menyebabkan produktifitas Anda berkurang. Namun poin pentingnya adalah suara keras tersebut haruslah “melawan hukum”. Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (hal. 117) yang dijelaskan juga dalam artikel Bisakah Tamu Menuntut Hotel Bila Tertimpa Dinding yang Roboh karena Angin?, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, antara lain: Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
Bertentangan dengan kesusilaan;
Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Dalam hal ini Anda (yang keberatan) untuk menggugat PMH harus membuktikan bahwa perbuatan pemiliki kafe memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, upaya hukum administrasi, perdata, dan pidana dapat Anda lakukan sebagai langkah hukum atas kerugian yang Anda alami, karena itu merupakan hak Anda sebagai warga negara. Untuk upaya hukum perdata, kerugian bukan berarti Anda harus terkena sakit terlebih dahulu, konsep kerugian di sini sangat luas. Kerugian bisa berupa apa saja. Semisal atas gangguan suara tersebut Anda tidak bisa tidur, yang menyebabkan produktifitas Anda berkurang. Namun poin pentingnya adalah suara keras tersebut haruslah “melawan hukum”.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia.
[1] Pasal 144 ayat (1) UU 28/2009