Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hewan Mati Sebelum Diserahkan, Wajibkah Pembeli Membayar?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Hewan Mati Sebelum Diserahkan, Wajibkah Pembeli Membayar?

Hewan Mati Sebelum Diserahkan, Wajibkah Pembeli Membayar?
Exza Pratama, S.H.Arkananta Vennootschap
Arkananta Vennootschap
Bacaan 10 Menit
Hewan Mati Sebelum Diserahkan, Wajibkah Pembeli Membayar?

PERTANYAAN

A dan B sepakat melakukan jual beli sapi. Beberapa hari kemudian sapi tersebut mati sebelum sampai ke tangan pembeli. Apakah pembeli wajib membayar harga sapi tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Karena sapi tersebut belum diserahkan yang berarti hak milik masih berada di tangan penjual, maka kematian terhadap sapi itu masih merupakan tanggung jawab dari penjual. Oleh sebab itu, pembeli tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap harga sapi. Selain itu jika ditinjau dari Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai salah satu penyebab hapusnya perikatan, maka pembeli tidak perlu membayar harga dari barang tersebut karena perikatan menjadi hapus dengan musnahnya barang tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Karena sapi tersebut belum diserahkan yang berarti hak milik masih berada di tangan penjual, maka kematian terhadap sapi itu masih merupakan tanggung jawab dari penjual. Oleh sebab itu, pembeli tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap harga sapi. Selain itu jika ditinjau dari Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai salah satu penyebab hapusnya perikatan, maka pembeli tidak perlu membayar harga dari barang tersebut karena perikatan menjadi hapus dengan musnahnya barang tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
     
    Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 79) menjelaskan bahwa yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain (pihak pembeli), membayar harga yang telah disetujuinya. Kedua hal di atas merupakan unsur pokok dari perjanjian jual beli yaitu harga dan barang.
     
    Selanjutnya, dalam perjanjian jual beli berlaku asas konsensualisme yang merupakan jiwa dari hukum perjanjian bahwa perjanjian lahir pada detik tercapainya “sepakat” mengenai harga dan barang. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1458 KUHPerdata:
     
    Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
     
    Namun pernyataan sepakat tentang harga dan barang yang membuat jual beli dianggap sudah terjadi itu tidak secara otomatis mengalihkan hak kepemilikan atas benda tersebut. Perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik sesuai dengan sifat dari jual beli yang baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak (obligatoir). Perpindahan hak milik baru terjadi ketika dilakukan penyerahan (levering).
     
    Prof. Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (hal. 11) menjelaskan levering sebagai suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (transfer of ownership) yang cara pengalihanya bergantung pada macam barang. Oleh para sarjana Belanda malahan levering itu dikonstruksikan sebagai suatu “Zakelijke overeenkomst” atau persetujuan tahap kedua setelah persetujuan jual beli yang khusus untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli. Perpindahan hak milik melalui penyerahan tersebut diatur dalam Pasal 1459 KUHPerdata:
     
    Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613 dan 616.
     
    Penyerahan berdasarkan Pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata didasarkan pada macam atau jenis bendanya yang nantinya dari macam benda tersebut ditentukan lagi macam penyerahanya sebagai berikut:
    1. Untuk penyerahan benda bergerak berwujud dilakukan dengan penyerahan nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya.[1]
    2. Untuk penyerahan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta dengan cara yang diatur dalam Pasal 620 KUHPerdata.[2]
    3. Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan pembuatan akta yang diberitahukan kepada si berutang (akta cessie).[3]
     
    Penting untuk dapat membedakan macam benda agar dapat mengetahui mekanisme peralihan yang tepat. Benda sendiri memiliki berbagai macam penggolongan seperti benda berwujud dan tak berwujud, yang dapat habis dan tidak dapat habis, yang sudah ada dan masih akan ada, yang dapat dibagi dan yang paling erat kaitanya dengan penyerahan adalah macam benda bergerak dan tidak bergerak. Sapi jika dilihat dari sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan berdasarkan yang memenuhi unsur Pasal 509 KUHPerdata:
     
    Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan.
     
    Oleh karena itu, sapi dikategorikan sebagai benda bergerak. Untuk mendukung argumentasi bahwa sapi adalah benda bergerak, Ny. Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberikan Kenikmatan Jilid I (hal. 43-46) menentukan bahwa suatu benda termasuk dalam golongan benda bergerak ditentukan berdasarkan:
    1. sifatnya, benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah dan dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi dan lain-lain.[4]
    2. ketentuan undang-undang, misalnya hak pakai hasil atau hak pakai atas benda-benda bergerak, hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan, penagihan-penagihan atau piutang/piutang.[5]
     
    Dari penjelasan diatas jelas bahwa sapi adalah benda bergerak yang mana cara pengalihan (levering) untuk benda bergerak adalah dilakukan dengan penyerahan nyata atas suatu benda sebagaimana diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang telah dijelaskan sebelumnya.
     
    Ny. Frieda Husni Hasbullah dalam buku yang sama (hal. 120-121) mengkategorikan penyerahan menjadi dua, yaitu penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan juridis (juridische levering). Penyerahan nyata adalah penyerahan dari tangan ke tangan dan yang diserahkan adalah benda-benda bergerak yang mana penyerahan nyata dan juridis jatuh pada saat bersama yaitu saat diserahkanya barang secara nyata ke tangan pembeli. Dalam kasus diatas, belum terjadi penyerahan nyata karena sapi tidak pernah sampai ke tangan si pembeli.
     
    Relevansi dari penyerahan (levering) sebagai pengalihan hak milik adalah untuk memberikan gambaran terkait dengan pertanggungjawaban terhadap risiko. Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak.[6] Pasal 1460 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut:
     
    Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.
     
    Perlu diketahui bahwa ketentuan di atas sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang (“SEMA 3/1963”). Pasal 1460 KUHPerdata merupakan ketentuan yang disadur dari Code Civil Perancis yang menganut aliran berbeda terkait dengan pemindahan hak milik.[7] Code civil perancis menyatakan bahwa perpindahan hak milik itu dimulai sejak ditutupnya perjanjian yang mana hal tersebut berbeda dengan perpindahan hak milik di Indonesia yang dimulai sejak dilakukannya penyerahan (levering).
     
    Prof. Subekti juga menyatakan bahwa dengan adanya konsep kepemilikan dan peralihan hak milik melalui levering, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban terhadap barang (apapun macamnya) risikonya masih harus dipikul oleh penjual yang merupakan pemilik barang itu sampai dengan adanya peralihan kepemilikan.[8]
     
    Selain itu jika ditinjau dari hapusnya suatu perikatan, Pasal 1381 KUHPerdata mengatur beberapa penyebab hapusnya perikatan dan salah satunya adalah musnahnya barang yang terutang yang diatur dalam Pasal 1444 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
     
    Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
     
    Ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata memang sebenarnya ditujukan sebagai suatu pembelaan untuk debitur yang gagal dalam melaksanakan prestasinya karena hal-hal di luar kendalinya, namun poin penting dalam pasal ini adalah bahwa perikatan itu menjadi hapus dengan musnahnya barang yang diperdagangkan. Dengan hapusnya perikatan berarti hapus pula segala hak dan kewajiban, termasuk hak debitur untuk meminta uang pembayaran dan kewajiban kreditur untuk melakukan pembayaran.
     
    Karena sapi tersebut belum diserahkan yang berarti hak milik masih berada di tangan penjual, maka kematian terhadap sapi itu masih merupakan tanggung jawab dari penjual. Oleh sebab itu, pembeli tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap harga sapi. Selain itu jika ditinjau dari Pasal 1381 KUHPerdata sebagai salah satu penyebab hapusnya perikatan, maka pembeli tidak perlu membayar harga dari barang tersebut karena perikatan menjadi hapus dengan musnahnya barang tersebut.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    1. Ny. Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Jakarta: Ind-Hill Co, 2002
    2. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995
    3. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Jakarta: Intermasa, 2001.

    [1] Pasal 612 KUHPerdata
    [2] Pasal 616 KUHPerdata
    [3] Pasal 613 KUHPerdata
    [4] Pasal 509 KUHPerdata
    [5] Pasal 511 KUHPerdata
    [6] Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 24
    [7] Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 26
    [8] Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 28

    Tags

    hewan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!