KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Menghibahkan Tanah yang Baru Ada di Kemudian Hari?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Dapatkah Menghibahkan Tanah yang Baru Ada di Kemudian Hari?

Dapatkah Menghibahkan Tanah yang Baru Ada di Kemudian Hari?
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dapatkah Menghibahkan Tanah yang Baru Ada di Kemudian Hari?

PERTANYAAN

Jika Yayasan X dijanjikan oleh Yayasan Y sebuah tanah 5 ha (hektar) untuk pendidikan. Tapi ternyata Yayasan X tersebut ingin menghibahkan tanah yang akan diberikan tersebut ke Yayasan Z. Bolehkah itu dilakukan?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Pada dasarnya yayasan sebagai badan hukum bisa melakukan hibah kepada yayasan lain. Namun, untuk melakukan hibah tentunya harus memenuhi ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu tidak boleh menghibahkan barang yang baru akan ada di kemudian hari.
     
    Berdasarkan hal tersebut, maka hibah yang dilakukan oleh Yayasan X terhadap Yayasan Z tidak dibenarkan oleh hukum karena tanah 5 hektar tersebut baru akan ada di kemudian hari. Sehingga jika hibah tetap dilakukan, maka hibah tersebut batal.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Pada dasarnya yayasan sebagai badan hukum bisa melakukan hibah kepada yayasan lain. Namun, untuk melakukan hibah tentunya harus memenuhi ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu tidak boleh menghibahkan barang yang baru akan ada di kemudian hari.
     
    Berdasarkan hal tersebut, maka hibah yang dilakukan oleh Yayasan X terhadap Yayasan Z tidak dibenarkan oleh hukum karena tanah 5 hektar tersebut baru akan ada di kemudian hari. Sehingga jika hibah tetap dilakukan, maka hibah tersebut batal.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kekayaan Yayasan
    Yayasan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”) adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
     
    Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.[1] Kekayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang.[2] Selain itu, kekayaan yayasan dapat diperoleh dari:[3]
      1. sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
      2. wakaf;
      3. hibah;
      4. hibah wasiat; dan
      5. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Yang dimaksud dengan "hibah" untuk kekayaan yayasan adalah hibah dari orang atau dari badan hukum.[4]
     
    Jadi, kekayaan yayasan dapat berasal dari hibah. Itu berarti yayasan dapat menerima hibah dari pihak lain (termasuk dari yayasan lain).
     
    Hibah dari Yayasan ke Yayasan Lain
    Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Prosedur Hibah Tanah dan Bangunan kepada Keluarga, dalam hukum positif, mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
     
    Gatot Supramono, dalam bukunya Hukum Yayasan di Indonesia (hal.70) menyatakan bahwa hibah bukan merupakan perjanjian obligatoire atau bertimbal balik seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, melainkan perjanjian sepihak. Hibah merupakan perjanjian penyerahan barang yang dibuat penghibah kepada penerima hibah, dan yang mempunyai janji hanyalah penghibah saja. Tidak ada janji sebaliknya yang merupakan kontra prestasi yang dilakukan oleh penerima hibah.
     
    Lebih lanjut Gatot menjelaskan (hal. 70-71), syarat yang harus dipenuhi agar hibah itu sah adalah perjanjiannya dibuat dengan akta notaris, dengan maksud untuk pembuktian adanya hibah yang dibuat oleh seseorang, karena akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, isinya harus dipercaya kebenarannya. Seseorang maupun badan hukum mana pun dapat melakukan hibah barang yang dimilikinya baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak kepada suatu yayasan, dan barang yang dihibahkan itu menjadi kekayaan yayasan.
     
    Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut, yayasan sebagai badan hukum dapat melakukan hibah ke yayasan lain. Tetapi, apakah tanah yang akan ada ada di kemudian hari dapat menjadi objek hibah? Mengenai hal tersebut, mari kita lihat dahulu penjelasan Pasal 1667 KUH Perdata:
     
    Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada.
    Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal.
     
    Jadi, terhadap barang yang belum ada atau yang akan ada di kemudian hari tidak dapat dihibahkan, jika tetap dihibahkan maka hibah tersebut batal.
     
    Hal serupa juga disampaikan oleh Gatot (hal.70), ia menjelaskan bahwa barang-barang yang dapat dihibahkan hanyalah barang-barang yang sudah ada di tangan penghibah. Jika hibah itu meliputi barang-barang yang akan ada di kemudian hari, maka berdasarkan Pasal 1667 KUH Perdata hibah menjadi batal. Ketentuan tersebut menghendaki tentang kepastian hukum. Istilahnya, ada hibah ada barangnya. Tujuannya agar levering (penyerahan) mengenai barangnya dapat dilakukan secara nyata setelah perjanjian hibah dibuat.
     
    Kembali ke pertanyaan Anda, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya yayasan sebagai badan hukum bisa melakukan hibah kepada yayasan lain. Namun, untuk melakukan hibah tentunya harus memenuhi ketentuan di KUH Perdata yaitu tidak boleh menghibahkan barang yang akan ada di kemudian hari. Terhadap hibah oleh Yayasan X terhadap Yayasan Z tidak dibenarkan oleh hukum karena tanah 5 ha (hektar) tersebut baru akan ada (akan dimiliki oleh Yayasan X di kemudian hari). Sehingga jika hibah tetap dilakukan, maka akibatnya hibah tersebut batal.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

     

    Referensi:

    Gatot Supramono. 2008. Hukum Yayasan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

     

    [1] Pasal 9 ayat (1) UU Yayasan
    [2] Pasal 26 ayat (1) UU Yayasan
    [3] Pasal 26 ayat (2) UU Yayasan
    [4] Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf c UU Yayasan

    Tags

    yayasan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!