Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Perjanjian Terapeutik dan Informed Consent

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Kedudukan Perjanjian Terapeutik dan Informed Consent

Kedudukan Perjanjian Terapeutik dan <i>Informed Consent</i>
Phalita Gatra, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Perjanjian Terapeutik dan <i>Informed Consent</i>

PERTANYAAN

Bagaimana kedudukan hukum perjanjian terapeutik dalam informed consent menurut Pasal 1320 KUHPerdata? Mohon penjelasannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Untuk memahami kedudukan Perjanjian Terapeutik dan informed consent yang dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita harus terlebih dahulu memahami apa yang disebut dengan perjanjian, unsur-unsur perjanjian, Perjanjian Terapeutik, dan yang dimaksud dengan informed consent.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Untuk memahami kedudukan Perjanjian Terapeutik dan informed consent yang dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita harus terlebih dahulu memahami apa yang disebut dengan perjanjian, unsur-unsur perjanjian, Perjanjian Terapeutik, dan yang dimaksud dengan informed consent.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita terlebih dahulu perlu memahami konsep dari perjanjian dan perjanjian terapeutik.
     
    R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
     
    Selanjutnya, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.
     
    Sedangkan Perjanjian Terapeutik, menurut Cecep Triwibowo dalam bukunya Etika dan Hukum Kesehatan (hal. 64) adalah perikatan yang dilakukan antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
     
    Mengacu kepada syarat sahnya penjanjian yang telah dipaparkan sebelumnya, lebih lanjut Cecep menjelaskan dalam buku yang sama (hal. 65) bahwa Perjanjian Terapeutik harus dilakukan oleh orang-orang yang cakap. Pihak penerima pelayanan medis adalah pasien, sedangkan pihak pemberi pelayanan medis adalah dokter dan tenaga kesehtan.
     
    Masih dalam buku yang sama (hal. 65), Cecep menjelaskan bahwa Perjanjian Terapeutik memiliki objek yakni pelayanan medis atau upaya penyembuhan. Sebab yang halal yang terdapat dalam Perjanjian Terapeutik adalah dimana tujuan daripada upaya penyembuhan adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehaatan yang berorientasi atas asas kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kualitas kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
     
    Sebagai tambahan untuk memperjelas, berikut akan dijabarkan pihak-pihak dalam Perjanjian Terapeutik menurut Cecep (hal. 67-68) yang telah kami sesuaikan dengan peraturan yang berlaku saat ini, yaitu:
     
    1. Dokter dan Tenaga Kesehatan:
    Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”), yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 11 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam:
    1. tenaga medis (dihapus);[1]
    2. tenaga psikologi klinis;
    3. tenaga keperawatan;
    4. tenaga kebidanan;
    5. tenaga kefarmasian;
    6. tenaga kesehatan masyarakat;
    7. tenaga kesehatan lingkungan;
    8. tenaga gizi;
    9. tenaga keterapian fisik;
    10. tenaga keteknisian medis;
    11. tenaga teknik biomedika;
    12. tenaga kesehatan tradisional; dan
    13. tenaga kesehatan lain.
    1. Pasien: Orang yang sakit yang dirawat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya di tempat praktek atau rumah sakit.
    2. Rumah Sakit: Sarana pelayanan kesehatan.
     
    Dengan pengertian perjanjian secara umum, dan pengertian mengenai Perjanjian Terapeutik yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dijelaskan mengenai kaitannya dengan informed consent. Menurut Cecep dalam buku yang sama (hal. 70-71), informed consent adalah bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
     
    Pada dasarnya, informed consent diperlukan untuk memastikan bahwa pasien telah mengerti semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan, dan pasien mampu memahami informasi yang relevan dan pasien memberi persetujuan. Berdasarkan doktrin informed consent, informasi yang harus diberitahukan adalah sebagai berikut:
    1. Diagnosa yang ditegakkan;
    2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan;
    3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut;
    4. Risiko-risiko dari tindakan tersebut;
    5. Konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan; dan
    6. Kadangkala biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.
     
    Di Indonesia, informed consent diatur dalam beberapa dasar hukum, antara lain:
    1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)
    Pasal 8 UU Kesehatan
    Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
     
    1. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (“PP 18/1981”)
    Pasal 15 PP 18/1981
    1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan yang dapat terjadi;
    2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
     
    1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/II/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (“Permenkes 290/2008”)
    Pasal 2 Permenkes 290/2018
    1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan;
    2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan;
    3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
     
    1. UU Tenaga Kesehatan
    Pasal 68 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan
    Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.
     
    Penjelasan:
    Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan adalah penerima pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Apabila penerima pelayanan kesehatan tidak kompeten atau berada di bawah pengampuan (under curatele), persetujuan atau penolakan tindakan pelayanan kesehatan dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ ibu kandung, anak kandung, atau saudara kandung yang telah dewasa.
     
    Sebagai informasi tambahan, menurut Cecep masih dalam buku yang sama (hal. 78-79), Informed consent dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu:
    1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas: dapat dinyatakan dengan lisan maupun tulisan; atau
    2. Informed consent yang dinyatakan secara diam-diam/tersirat: dapat dinyatakan dari gerakan pasien seperti menganggukan kepala, atau tindakan pasien yang tidak menolak tubuhnya diperiksa, dan sebagainya.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015.
     
    Referensi:
    1. Cecep Triwibowo. Etika & Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika;
    2. R. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

    [1] Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015: Pasal 11 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Tags

    kesehatan
    tenaga kesehatan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!