KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Kontrak Kerja Dibubuhi Meterai?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Haruskah Kontrak Kerja Dibubuhi Meterai?

Haruskah Kontrak Kerja Dibubuhi Meterai?
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Haruskah Kontrak Kerja Dibubuhi Meterai?

PERTANYAAN

Apakah kontrak kerja (PKWT/PKWTT) harus pakai meterai?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, seperti perjanjian pada umumnya, syarat yang harus dipenuhi agar kontrak kerja sah secara hukum dan mengikat pengusaha dan pekerja adalah:

    1. kesepakatan kedua belah pihak;
    2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
    3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
    4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Lantas, apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) wajib dibubuhi meterai?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kontrak Kerja

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu kontrak kerja atau perjanjian kerja. Pada dasarnya, kontrak kerja adalah perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau tulisan, yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban.[1] Kontrak kerja juga dapat diartikan sebagai dasar terjadinya hubungan kerja.[2] 

    Definisi tersebut sejalan dengan Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

    Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

    Kemudian sebagai informasi, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.[3] Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, yang ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.[4] Secara singkat, kami asumsikan PKWT adalah perjanjian kerja yang mengikat karyawan kontrak dan pekerja lepas.

    Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) diperuntukkan bagi karyawan tetap. Mengacu pada Pasal 1 angka 11 PP 35/2021, PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Sesuai dengan pengertian tersebut, PKWTT bersifat terus menerus dan tidak dibatasi oleh waktu. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki kesempatan kerja secara PKWTT berstatus sebagai karyawan tetap.

    Baca juga: Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    Syarat Sah Perjanjian 

    Seperti perjanjian pada umumnya, syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian kerja/kontrak kerja sah secara hukum dan mengikat pengusaha dan pekerja adalah:[5]

    1. kesepakatan kedua belah pihak;
    2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
    3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
    4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Jika perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi syarat dalam huruf a dan b, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan jika bertentangan dengan ketentuan dalam huruf c dan d, maka perjanjian kerja batal demi hukum.[6] Selengkapnya mengenai syarat sah perjanjian dapat Anda baca pada Pasal 1320 s.d. Pasal 1337 KUH Perdata.

    Kemudian, jika Anda dipekerjakan secara kontrak atau PKWT, menurut Pasal 13 PP 35/2021, PKWT paling sedikit harus memuat:

    1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
    3. jabatan atau jenis pekerjaan;
    4. tempat pekerjaan;
    5. besaran dan cara pembayaran upah;
    6. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama;
    7. mulai dan jangka waktu berlakunya PKWT;
    8. tempat dan tanggal PKWT dibuat; dan
    9. tanda tangan para pihak dalam PKWT.

    Sedangkan, jika Anda dipekerjakan secara tetap atau PKWTT, maka berdasarkan Pasal 54 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja sekurang kurangnya harus memuat:

    1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
    3. jabatan atau jenis pekerjaan;
    4. tempat pekerjaan;
    5. besarnya upah dan cara pembayarannya;
    6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
    7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
    8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
    9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

    Baca juga: Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?

    Apakah Kontrak Kerja Wajib Dibubuhi Meterai?

    Menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa kontrak kerja harus dibubuhi meterai. Selain itu, berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, keberadaan meterai dalam sebuah perjanjian tidak merupakan syarat keabsahan perjanjian, dan tidak merupakan hal yang harus dimuat dalam perjanjian kerja.

    Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Fungsi Meterai dalam Perjanjian dan Berapa Jumlah yang Dibubuhkan, fungsi meterai secara garis besar adalah alat untuk membayar pajak dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti atau keterangan.

    Lalu, penting untuk diketahui bahwa urgensi dari meterai adalah ketika perjanjian tersebut akan digunakan sebagai dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan kejadian yang bersifat perdata dan sebagai dokumen yang digunakan untuk alat bukti di pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Bea Meterai.

    Sebagai informasi, pembubuhan meterai tersebut dikenakan bea meterai sebagai pajak atas dokumen (surat/perjanjian/kontrak).[7]

    Kesimpulannya, kedudukan meterai dalam perjanjian adalah sebagai dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian bersifat perdata dan agar perjanjian dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan, bukan sebagai syarat sah perjanjian. Menurut hemat kami, pada praktiknya, ada atau tidaknya meterai tergantung dari keinginan para pihak, apakah mau atau tidak mau menyertakan meterai dalam perjanjian kerja. Sehingga, kontrak kerja tetap sah walaupun tidak dibubuhi meterai.

    Baca juga: Fungsi Meterai dan Objek Bea Meterai  

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai  ;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

    Referensi:

    1. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007;
    2. Suryadi Bata Ahmad. Sistem Kontrak Kerja Antara Karyawan dan Perusahaan Perspektif Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab, Vol. 1, No. 2, 2020.

     


    [1] Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 57

    [2] Suryadi Bata Ahmad. Sistem Kontrak Kerja Antara Karyawan dan Perusahaan Perspektif Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab, Vol. 1, No. 2, 2020, hal. 21

    [3] Pasal 81 angka 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”)  yang mengubah Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [4] Pasal 81 angka 12 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan

    [5] Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 

    [6] Pasal 52 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan

    [7] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai

     

    Tags

    perjanjian kerja
    kontrak kerja

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Cicil Rumah dengan KPR Agar Terhindar Risiko Hukum

    2 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!