Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wajibkah Ada Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Wajibkah Ada Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana?

Wajibkah Ada Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana?
James Peter N. C. Paath, S.H. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Wajibkah Ada Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana?

PERTANYAAN

Suatu perkara pembunuhan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memiliki alat bukti Saksi akan tetapi JPU memiliki alat bukti lain: Keterangan Ahli, Bukti Surat+Keterangan Terdakwa. Pertanyan saya, apakah Alat bukti Saksi dalam perkara pidana bersifat wajib? Dengan kata lain, apakah Hakim tidak akan memidana bersalah Terdakwa tanpa alat bukti Saksi? Mohon pencerahannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa alat bukti saksi, tetapi harus tetap memenuhi minimal dua alat bukti dan keyakinan Hakim karena tidak ada kewajiban salah satu dari dua alat bukti minimal harus merupakan keterangan saksi.
     
    Namun, dalam praktik boleh dikatakan tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang luput dari keterangan saksi. Faktor pertama karena terdapat perluasan makna keterangan saksi. Kedua, Majelis Hakim akan berusaha sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk memutus suatu perkara, untuk mencegah timbulnya keraguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt).
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa alat bukti saksi, tetapi harus tetap memenuhi minimal dua alat bukti dan keyakinan Hakim karena tidak ada kewajiban salah satu dari dua alat bukti minimal harus merupakan keterangan saksi.
     
    Namun, dalam praktik boleh dikatakan tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang luput dari keterangan saksi. Faktor pertama karena terdapat perluasan makna keterangan saksi. Kedua, Majelis Hakim akan berusaha sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk memutus suatu perkara, untuk mencegah timbulnya keraguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt).
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Sistem Pembuktian Hukum Pidana
    Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 17), sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia menganut prinsip negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian hukum pidana dilakukan menurut keyakinan Hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang memberikan batasan untuk Hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang harus berdasarkan keyakinan Hakim dan minimal dua alat bukti (bewijs minimmum), selengkapnya Pasal 183 KUHAP berisi:
     
    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.
     
    Berkaitan dengan pemenuhan minimal dua alat bukti, hukum positif tidak memberikan kewajiban salah satu alat bukti yang digunakan harus merupakan keterangan saksi. Sepanjang Hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa benar terjadi suatu tindak pidana dan terdakwa yang bersalah disertai dengan minimal dua alat bukti, sebagaimana terdapat empat alat bukti selain keterangan saksi berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
     
    Alat bukti yang sah ialah:
    1. keterangan Saksi;
    2. keterangan Ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan Terdakwa.
     
    Kendati Pasal 185 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 185 ayat (3) KUHAP menyatakan:
     
    1. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
     
    Dapat dipahami bahwa keterangan satu orang saksi jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan, ketentuan tersebut tidak dapat diartikan setidak-tidaknya harus ada satu orang saksi untuk memenuhi minimal dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP. Karena Pasal 185 di atas merupakan penegasan minimal dua alat bukti, yang mana juga terdapat dalam ketentuan mengenai Keterangan terdakwa dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan:
     
    Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
     
    Oleh karena itu sejalan dengan pendapat sebelumnya, Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tanpa alat bukti keterangan Saksi, tetapi harus memenuhi minimal dua alat bukti lainnya dan dengan keyakinan Hakim.
     
    Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
    Namun dalam praktik pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa, menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 286), pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama, boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.  
     
    Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kerap digunakannya keterangan saksi dalam pembuktian perkara pidana. Pertama, terdapat perluasan makna keterangan saksi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (Baca: MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP). Sehingga saat ini siapa saja yang masih memiliki relevansi dengan perkara untuk memberikan keterangan, dapat dijadikan sebagai saksi. Tidak harus orang yang melihat, mendengar, mengalami suatu peristiwa pidana. Mengambil contoh ilustrasi yang Anda berikan, dalam perkara tersebut meski tidak ada saksi yang melihat terjadinya pembunuhan, dalam praktik Jaksa Penuntut Umum akan memanggil saksi penangkap, saksi dari keluarga korban, ataupun saksi lain yang masih memiliki relevansi dengan perkara.
     
    Kedua, Majelis Hakim akan mengusahakan sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk memutus suatu perkara karena tanpa adanya saksi, dapat menimbulkan keragu-raguan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim tidak boleh memiliki keraguan yang masuk akal dalam menjatuhkan hukuman bersalah kepada terdakwa (beyond a reasonable doubt).
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
     
    Referensi:
    1. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
    2. Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012.

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!