UU Pornografi menjelaskan bahwa pornografi merupakan materi yang berisi ketelanjangan dan seksualitas. Saya kebetulan berasal dari salah satu suku yang mempunyai budaya membuat literatur dan gambar-gambar aktivitas seksual selama berabad-abad. Budaya yang sudah turun-temurun itu terus berlanjut dan mengakar hingga saat ini. Bahkan banyak orang dari suku kami menjadi penulis literatur modern berkonten seksual seperti komik dan novel. Apakah pembuat literatur berkonten seksual akan terjerat UU Pornografi, sekalipun itu merupakan budaya yang telah ada bahkan jauh sebelum kemerdekaan negeri ini?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Sebagai pembuat literatur berkonten seksual, Anda dapat dijerat pidana apabila konten seksual yang dimaksud memenuhi unsur-unsur Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Tidak hanya Anda sebagai pembuat, penerbit yang memproduksi dan memperbanyak, juga toko buku yang memperjualbelikan misalnya, juga dapat dipidana.
Namun kami hanya bisa menyimpulkan berdasarkan perbuatan apa yang diatur dalam UU Pornografi. Pada praktiknya tentu akan dilakukan penyidikan secara mendalam, hal tersebut dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tentunya juga dengan menghadirkan ahli-ahli yang kompeten terkait perbukuan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Intisari :
Sebagai pembuat literatur berkonten seksual, Anda dapat dijerat pidana apabila konten seksual yang dimaksud memenuhi unsur-unsur Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Tidak hanya Anda sebagai pembuat, penerbit yang memproduksi dan memperbanyak, juga toko buku yang memperjualbelikan misalnya, juga dapat dipidana.
Namun kami hanya bisa menyimpulkan berdasarkan perbuatan apa yang diatur dalam UU Pornografi. Pada praktiknya tentu akan dilakukan penyidikan secara mendalam, hal tersebut dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tentunya juga dengan menghadirkan ahli-ahli yang kompeten terkait perbukuan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dikatakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (“UU Sistem Perbukuan”), bahwa yang dimaksud Sistem Perbukuan adalah tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.
Lalu istilah buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala.[1]
Diakses dari artikel Literatur Apa Itu? yang kami akses dari laman Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI), literatur dalam bahasa Inggris “literature” artinya karya sastra, contoh puisi, drama, novel, dan sebagainya. Bisa dibilang bahwa literatur/bacaan adalah suatu bahan bacaan terdiri dari huruf, angka dan gambar yang dapat digunakan untuk beraktifitas dan kumpulan tulisan atau sumber informasi mengandung berbagai macam pengetahuan. Bentuk dari literatur terdiri dari softcopy (data komputer) dan hardcopy (media cetak di lembaran).
Jika melihat definisi di atas, maka literatur yang Anda maksud adalah buku cetak dan buku elektronik. Buku cetak merupakan karya tulis yang berupa teks, gambar, atau gabungan dari keduanya yang dipublikasikan dalam bentuk cetak. Sedangkan buku elektronik adalah karya tulis yang berupa teks, gambar, audio, video, atau gabungan dari keseluruhannya yang dipublikasikan dalam bentuk elektronik.[2]
Selanjutnya jenis buku dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:[3]
buku pendidikan, yaitu buku yang digunakan dalam pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan pendidikan khusus; dan
buku umum, yaitu merupakan jenis buku di luar buku pendidikan.
Karena pada pertanyaan disebutkan bahwa buku yang dimaksud adalah berupa komik dan novel, maka dalam hal ini di luar buku pendidikan, termasuk ke dalam jenis buku umum.
Adapun pelaku perbukuan terdiri atas Penulis, Penerjemah, Penyadur, Editor, Desainer, Ilustrator, Pencetak, Pengembang Buku Elektronik, Penerbit, dan Toko Buku.[4]
Sangat erat kaitannya dalam menerbitkan buku harus dilakukan pemerolehan naskah buku melalui akuisisi naskah secara aktif dan juga dilakukan melalui penulisan, penerjemahan dari buku bahasa daerah/ asing, atau penyaduran.[5]
Pemerolehan naskah buku harus memenuhi syarat isi yang terdiri atas:[6]
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan;
tidak mengandung unsur pornografi;
tidak mengandung unsur kekerasan; dan/atau
tidak mengandung ujaran kebencian.
Definisi pornografi di Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.
Bagi orang yang melakukan tindakan pornografi dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, maka dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 6 miliar.[7] Sanksi ini dikenakan kepada pelaku perbukuan.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku perbukuan, dan masyarakat melakukan pengawasan atas Sistem Perbukuan yang bertujuan untuk menjamin agar Sistem Perbukuan
Menjawab pertanyaan Anda, pembuat literatur berkonten seksual dapat dijerat UU Pornografi apabila memenuhi unsur-unsur pidana dalam UU Pornografi. Jika konten seksual yang dimaksud memenuhi unsur-unsur Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Maka sudah barang tentu si pembuat konten (dalam hal ini Anda sebagai penulis/ si pembuat novel & komik) bisa dipidana sesuai sanksi yang disebutkan oleh UU Pornografi. Tidak hanya penulis sebagai pembuat, penerbit yang memproduksi dan memperbanyak, juga toko buku yang memperjualbelikan misalnya, juga dapat dipidana.
Namun kami hanya bisa menyimpulkan berdasarkan apa yang diatur dalam UU Pornografi. Pada praktiknya tentu akan dilakukan penyidikan secara mendalam, hal tersebut dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[9] Tentunya juga dengan menghadirkan ahli-ahli yang kompeten terkait perbukuan.