Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Program Doktor dan Program Doktor Terapan
Program doktor adalah salah satu jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
[1]
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, yang terdiri atas:
[2]Perguruan Tinggi Negeri (“PTN”) adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah; dan
Perguruan Tinggi Swasta (“PTS”) adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
Bagaimana untuk mendapatkan gelar doktor? Tentunya harus menempuh program doktor yang dibagi dua jenisnya yaitu:
Program Doktor
Merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor ini untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian
sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia;
[3] dan
Program Doktor Terapan
Merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor terapan ini mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan meningkatkan kemampuan dan kemandirian
sebagai ahli dan menghasilkan serta mengembangkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.
[4]
Jadi, kedua jenis program tersebut merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister atau magister terapan terapan atau sederajat.
Program doktor di atas wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
[5] Lulusan program doktor berhak menggunakan gelarnya setelah lulus perkuliahan. Untuk program doktor menggunakan gelar doktor, dan untuk program doktor terapan menggunakan gelar doktor terapan.
[6]
Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
[7]
Sanksi Bagi Orang yang Memberikan dan Mendapatkan Gelar Doktor Ilegal
Kami asumsikan, “membeli” yang Anda maksud ialah menyogok seseorang untuk mengeluarkan ijazah tanpa mengikuti atau menempuh program pendidikan doktor atau program doktor terapan sebagaimana mestinya.
Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi (doktor dan doktor terapan) sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Ijazah tersebut diterbitkan oleh perguruan tinggi yang memuat program studi dan
gelar yang berhak dipakai oleh lulusan pendidikan tinggi (dalam hal ini gelar doktor atau doktor terapan).
[8]
Perlu diketahui bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah dan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
[9] Selain itu, perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.
[10]
Itu artinya, memberikan dan mendapatkan gelar doktor/ijazah dengan cara illegal atau tanpa hak (dalam hal ini termasuk ‘membeli’ gelar doktor) merupakan hal yang dilarang.
Berkaitan perbuatan ‘membeli’ gelar doktor pada salah satu PTN, jual beli menurut Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Perdata (“KUH Perdata”) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa syarat sah perjanjian adalah:
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
Kecakapan para pihak dalam perjanjian;
Suatu pokok persoalan tertentu;
Suatu sebab yang tidak terlarang;
Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Maka dari itu, menurut hemat kami jual beli ijazah tersebut merupakan suatu sebab yang terlarang dan oleh karena itu jual beli tersebut batal demi hukum/dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak pernah terjadi.
[11]
Jadi perbuatan jual beli gelar doktor/ijazah tersebut dapat dikatakan batal demi hukum. Ulasan selengkapnya mengenai jual beli silakan baca juga artikel
Pembatalan Jual Beli.
Selain itu, terhadap perbuatan tersebut (memberikan gelar doktor), maka gelar doktornya akan dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
[12]
Tidak hanya itu bagi PTN beserta orang yang tidak memiliki kewenangan dan kebijakan mengeluarkan atau mendapatkan ijazah/gelar secara illegal (tanpa hak) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.
[13]
PTN yang melakukan hal yang demikian dimungkinkan dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
[14]peringatan tertulis;
penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
penghentian pembinaan; dan/atau
pencabutan izin.
‘Membeli’ Ijazah = Pemalsuan Surat?
Tindakan ‘membeli’ gelar doktor yang Anda sebutkan tersebut menurut hemat kami juga dapat dikatakan sebagai tindakan memalsukan ijazah. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel
Pemalsuan Ijazah 15 Tahun Lalu, Masih Bisakah Dituntut?, pemalsuan ijazah merupakan bentuk tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang memuat ancaman pidana berupa pidana penjara selama-lamanya enam tahun.
Masih dari artikel yang sama, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.195) menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat dalam ketentuan tersebut adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Selain itu, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dll);
Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dsb);
Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).
Lebih lanjut menurut Soesilo, perbuatan yang diancam hukuman di sini adalah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Dalam konteks pertanyaan Anda, perbuatan yang dimaksud adalah “membuat surat palsu”, yaitu membuat surat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar.
[15]
Ada Indikasi Tindak Pidana Korupsi?
-
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
b. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada
Putusan Pengadilan Negeri Bangil Nomor 368/Pid.B/2012/PN.Bgl di mana terdakwa telah bersalah membeli ijazah dan transkrip akademik S.1. UNMUH Malang dari Ali Makhrus dengan harga Rp 11 juta. Akibat perbuatannya itu, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
Menurut Majelis Hakim perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur dari pasal 263 ayat (2) KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Barang siapa;
Dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
[1] Lihat Pasal 1 angka 2 UU 12/2012
[2] Lihat Pasal 1 angka 6, angka 7, dan angka 8 UU 12/2012
[3] Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2012
[4] Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2012
[5] Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 12/2012
[6] Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (4) UU 12/2012
[7] Pasal 28 ayat (1) UU 12/2012
[8] Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU 12/2012
[9] Pasal 42 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (6) UU 12/2012
[10] Pasal 28 ayat (7) UU 12/2012
[11] Lihat 1335 KUH Perdata
[12] Pasal 28 ayat (3) huruf b UU 12/2012
[13] Pasal 28 ayat (6) dan ayat (7) jo. Pasal 93 UU 12/2012
[14] Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (3) huruf b , ayat (6), dan ayat (7) UU 12/2012
[15] R. Soesilo, hal. 195