Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk jalur pengadilan (litigasi), setiap orang yang merasa haknya telah dilanggar dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain terhadap kekayaan intelektual-nya. Khusus untuk pelanggaran Rahasia Dagang, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.
Sedangkan untuk penyelesaian di jalur non-pengadilan (non-litigasi) atau APS, Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur mengenai APS yaitu
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah:
Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa didefinisikan sebagai berikut:
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Lebih lanjut, penyelesaian sengketa beberapa jenis KI diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
Penyelesaian Sengketa Hak Cipta
Dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UU HC diterangkan bahwa bentuk sengketa terkait dengan Hak Cipta antara lain, sengketa berupa perbuatan melawan hukum, perjanjian Lisensi, sengketa mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau Royalti. Sedangkan yang dimaksud dengan "alternatif penyelesaian sengketa" adalah proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, negosiasi, atau konsiliasi.
Penyelesaian Sengketa Paten
Penyelesaian sengketa Paten selain melalui Pengadilan Niaga juga dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”).
Penyelesaian Sengketa Merek dan Indikasi Geografis
Penyelesaian Sengketa Desain Industri
Penyelesaian Sengketa Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang
Untuk penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, tata cara gugatan telah diatur dalam masing-masing peraturan terkait KI yang dituju. Kami ambil contoh salah satunya adalah tata cara gugatan pelanggaran hak cipta yang diatur pada Pasal 100-101 UU HC sebagai berikut.
Pasal 100 UU HC
Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga.
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh panitera Pengadilan Niaga dalam register perkara pengadilan pada tanggal gugatan tersebut didaftarkan.
Panitera Pengadilan Niaga memberikan tanda terima yang telah ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan.
Dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga menetapkan Hari sidang.
Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.
Pasal 101 UU HC
Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak gugatan didaftarkan.
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) Hari.
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak putusan diucapkan.
Sedangkan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian, persyaratan dan prosedurnya telah diatur dalam yaitu UU 30/1999, sebagai berikut:
Pasal 4 UU 30/1999
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5 UU 30/1999
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
[1]
Mengenai alternatif penyelesaian sengketa diatur pada Pasal 6 UU 30/1999 sebagai berikut:
Pasal 6 UU 30/1999
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
Apabila para pihak tsb dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui media for sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Sengketa KI tidak saja terjadi dengan pihak yang berada di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. World Intellectual Property Organizations (WIPO) sebagai salah satu ‘specialized agency’ dari United Nations adalah lembaga internasional yang bergerak di bidang perlindungan kekayaan intelektual. Hukum yang mengatur mengenai KI sangat banyak dipengaruhi oleh perdagangan dunia dan sangat erat kaitannya dengan WTO dan TRIPS Agreement. Awalnya GATT/WTO menempatkan satu badan khusus untuk menangani penyelesaian sengketa yang disebut Dispute Settlement Body bagi permasalahan perdagangan dunia. Sedangkan khusus untuk permasalahan KI adanya WIPO Arbitration and Mediation Center telah banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha internasional.
Pemerintah Indonesia sendiri telah pula menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) mengenai Alternative Dispute Resolution (“ADR”) antara Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tanggal 19 Mei 2014 bertempat di Kantor Pusat WIPO, Geneva, Switzerland.
Menurut William A. Finkelstein dalam buku ADR in Trademark and Unfair Competition Disputes: A Praticioner’s Guide (hal. 68), sama halnya dengan kebiasaan ADR yang dilakukan pada negara-negara lain atau forum internasional, ADR bukanlah hanya merupakan satu pendekatan atau metode, melainkan mencakup berbagai praktik-praktik penyelesaian perselisihan. Perselisihan tersebut dapat diselesaikan dalam dua kategori utama yaitu yang mengikat (binding) dan yang atas persetujuan bersama atau konsensus (consensual).Metode mengikat (binding) sebagaimana sebutannya, hasilnya mengikat kedua belah pihak secara otomatis, sedangkan metode konsensus memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk membentuk kesepakatan dan memerlukan persetujuan bersama agar dapat dilaksanakan. WIPO Arbitration and Mediation Center bekerja sama dengan negara-negara anggotanya dan kantor-kantor urusan intelektual di negara-negara tersebut serta Pengadilannya untuk meningkatkan kesadaran akan penyelesaian sengketa melalui metode ADR dalam menyelesaikan sengketa di bidang HKI.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
William A Finkelstein. ADR in Trademark and Unfair Competition Disputes: A Praticioner’s Guide. Center for Public Resources, New York, 1994.