KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Konsekuensi Perjanjian Kerja yang Dibuat Hanya dalam Bahasa Asing

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Konsekuensi Perjanjian Kerja yang Dibuat Hanya dalam Bahasa Asing

Konsekuensi Perjanjian Kerja yang Dibuat Hanya dalam Bahasa Asing
Dian Dwi Jayanti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Konsekuensi Perjanjian Kerja yang Dibuat Hanya dalam Bahasa Asing

PERTANYAAN

Apakah kontrak kerja harus dibuat dalam dua bahasa? Apa dasarnya? Misal saya kerja di perusahaan asing (PMA) sebagai pegawai kontrak, tapi kontraknya cuma ada berbahasa Inggris, tidak ada yang menggunakan bahasa Indonesia, apa konsekuensinyaa? Apakah lantas kontraknya batal?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian kerja secara eksplisit diatur di dalam Pasal 81 angka 13 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

    Jika hanya dalam bahasa asing, perjanjian kerja dapat berakibat batal demi hukum. Untuk itu Anda seharusnya meminta perusahaan untuk membuat perjanjian kerja dalam bahasa Indonesia. Apa dasar hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jika Perjanjian Kerja Dibuat Hanya dalam Bahasa Asing yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 5 Juli 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Perjanjian Kerja Tertulis

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, tentunya kita dapat mengacu ke UU Ketenagakerjaan, dengan terlebih dahulu membahas kontrak kerja.

    Dalam UU Ketenagakerjaan tidak dikenal istilah kontrak kerja. Namun yang dipakai adalah perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[1]

    Perjanjian kerja merupakan dasar terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh[2] yang dapat dibuat secara tertulis atau lisan atas dasar:[3]

    1. kesepakatan kedua belah pihak;
    2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
    3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
    4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Karena fokusnya adalah penggunaan bahasa, maka kami akan membahas perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Perjanjian kerja tertulis harus sekurang-kurangnya memuat:[4]

    1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
    3. jabatan atau jenis pekerjaan;
    4. tempat pekerjaan;
    5. besarnya upah dan cara pembayarannya;
    6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
    7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
    8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
    9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

    Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud huruf e dan f di atas, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]

    Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu (“PKWT”) atau untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”) yang didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan yang ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.[6] Perjanjian tersebut dibuat sekurang kurangnya rangkap 2, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 perjanjian kerja.[7] Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.[8]

    Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Kerja Tertulis

    Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian kerja secara eksplisit diatur di dalam Pasal 81 angka 13 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

    Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

    Selain itu, secara umum kewajiban memakai bahasa Indonesia juga diatur di dalam Pasal 31 UU 24/2009 yang menyatakan:

    1. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia;
    2. Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

    Derajat bahasa Indonesia dalam PKWT menjadi penentu ketika terjadi perbedaan penafsiran. Hal ini diatur di dalam Pasal 81 angka 13 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

    Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

    Konsekuensi Jika PKWT Hanya Dibuat dalam Bahasa Asing

    Sepanjang penelusuran kami, dalam UU Ketenagakerjaan tidak menyebutkan mengenai konsekuensi hukum apabila tidak mengikuti kewajiban untuk membuat perjanjian kerja dalam bahasa Indonesia.

    Lalu, apakah karena tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan maka dibolehkan? Jawabannya adalah perjanjian kerja Anda menjadi batal demi hukum.

    Pemikiran tersebut beranjak dari pendapat Eri Hertiawan yang disampaikan dalam seminar Hukumonline “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” pada 16 Desember 2009. Menurut kesimpulan beliau, pelanggaran Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 dapat digunakan sebagai dasar kebatalan (bukan pembatalan) suatu perjanjian.

    Berkaitan dengan pendapat tersebut, perihal batal demi hukum suatu PKWT yang hanya dibuat dalam bahasa asing, dapat dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut:

    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

      1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
      2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
      3. suatu pokok persoalan tertentu;
      4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Kebatalan itu didasari Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi:

    Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

    Disarikan dari  Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, suatu sebab yang tidak terlarang tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam KUH Perdata. Namun, suatu sebab terlarang dapat dimaknai jika dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Lebih lanjut, syarat suatu sebab yang tidak terlarang adalah syarat objektif suatu perjanjian. Jika tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

    Dengan demikian, jika perjanjian kerja dibuat hanya dalam bahasa asing, maka bisa berakibat batal demi hukum. Untuk itu Anda seharusnya meminta perusahaan untuk membuat perjanjian kerja dalam bahasa Indonesia.

    Selain itu, menurut praktisi ahli hukum ketenagakerjaan, Umar Kasim, PKWT yang dibuat dalam bahasa asing saja dapat diberlakukan Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Ia berpendapat bahwa karena kontrak tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan tidak tertulis dalam huruf latin, dengan ini PKWT tidak memenuhi syarat dan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sehingga perlakuan (pemenuhan hak) bagi pekerja melalui PKWT, diberlakukan sama dengan pekerja melalui PKWTT. Dengan demikian, secara otomatis PKWT menjadi PKWTT.

    Dalam hal perusahaan tidak mau membuat perjanjian kerja dalam bahasa Indonesia, maka Anda dapat melakukan upaya hukum dengan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) berdasarkan Pasal 5 UU 2/2004, tentunya apabila telah lebih dulu melakukan penyelesaian secara konsiliasi atau mediasi namun tidak tercapai perdamaian atau kesepakatan.

    Menurut hemat kami gugatan yang nantinya Anda ajukan ialah gugatan perselisihan hak.[9] Selain itu, menurut Juanda Pangaribuan, dalam buku Seluk Beluk Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial (hal. 233), apabila gugatan pekerja mengenai perselisihan hak dan PHK, penggugat mengkualifikasi perbuatan pengusaha sebagai tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau perjanjian kerja bersama. Kalau perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri, penggugat mengkualifikasi gugatannya sebagai gugatan perbuatan melawan hukum (“PMH”) atau wanprestasi.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003;
    4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
    5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

    Referensi:

    Juanda Pangaribuan. Seluk Beluk Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial. Jakarta: MISI, 2017.

    Catatan:

    1. Pendapat Eri Hertiawan yang disampaikan dalam seminar Hukumonline “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” pada 16 Desember 2009 sebagaimana dikutip dalam buku Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing, Hukumonline.com.
    2. Pendapat Umar Kasim, praktisi Hukum Ketenagakerjaan yang diperoleh dari wawancara via telepon dan WhatsApp, pada 4 Juli 2019, pukul 20.40 WIB.

    [1]  Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [4] Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [5] Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    [6] Pasal 81 angka 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 ayat (1) UU 13/2003

    [7] Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

    [8] Pasal 55 UU Ketenagakerjaan

    [9] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

    Tags

    kontrak kerja
    perjanjian kerja

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Cicil Rumah dengan KPR Agar Terhindar Risiko Hukum

    2 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!