Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sayang sekali Anda tidak menjelaskan fotokopi yang dimaksud, apakah berupa surat pelaporan dari pihak perusahaan kepada pihak berwajib atau pelaporan tertulis dari pihak lain kepada pihak perusahaan. Hal tersebut berdampak pada jawaban yang kami berikan.
Perbedaan Korupsi dengan Penggelapan
Sebelum membahas pertanyaan Anda lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa korupsi perlu dibedakan dari penggelapan. Ketentuan mengenai penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yakni:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Sedang korupsi menurut Nyoman Serikat Putra Jaya dalam bukunya Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia adalah serangkaian kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang mana perbuatan yang dimaksud memenuhi segala unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) dan perubahannya.
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor disebutkan bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU–XIV/2016 (hal. 113) diuraikan bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.
Dari penjelasan di atas terlihat perbedaan penggelapan dengan korupsi terletak pada unsur kerugian yang ditimbulkan, di mana kerugian korupsi hanya berkaitan dengan keuangan negara atau perekonomian negara. Sehingga menurut hemat kami, kasus dalam pertanyaan Anda sejatinya tergolong sebagai penggelapan karena tidak terkait dengan kerugian negara.
Tanggung Jawab Direksi
Direktur keuangan sebagai orang yang diduga melakukan penggelapan sendiri dapat dikategorikan sebagai direksi, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Selain itu, direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar.[1]
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan, yang wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.[2]
Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Dalam hal tindakan direksi merugikan perseroan, pemegang saham yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan ketentuan tersebut dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap direksi melalui pengadilan.[3] Ketentuan mengenai tanggung jawab direksi dan/atau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam UUPT tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana.[4]
Lebih lanjut, Pasal 106 UUPT menguraikan bahwa:
Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya.
Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan.
Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1).
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS.
Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut.
Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal.
Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Oleh karena itu, seorang direksi haruslah menjalankan pengurusan perseroan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika memang ditemukan adanya direksi yang telah merugikan perseroan untuk kepentingan pribadi dengan melakukan penggelapan, maka pemegang saham yang paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan/tuntutan ke pengadilan negeri. Selain itu, dewan komisaris dapat menindaklanjuti permasalahan tersebut dengan memberhentikan sementara anggota direksi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat menguatkan atau membatalkan keputusan pemberhentian sementara tersebut.
Hak dan Kewajiban Serikat Buruh
Lebih lanjut, terkait dengan keinginan Anda untuk melaksanakan demostrasi dan mendesak presiden direktur untuk mengambil tindakan atas dugaan penggelapan oleh direktur keuangan Anda, ada perlunya kita meninjau ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) serta peraturan terkait lainnya.
Dalam Pasal 102 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur bahwa:
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:
sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
Adapun Pasal 25 ayat (1) UU 21/2000 mengatur bahwa:
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:
membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut hemat kami, Anda pada dasarnya tidak memiliki hak untuk memberikan surat teguran keras kepada presiden direktur perusahaan tempat Anda bekerja. Sebagai wakil SB/SP, Anda seyogyanya melakukan musyawarah bersama dengan presiden direktur atau pejabat lainnya di perusahaan tersebut untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan di mulai telah diterima oleh polri setempat.
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Surat pemberitahuan memuat:[5] maksud dan tujuan;
tempat,lokasi dan rute;
waktu dan lama;
bentuk;
penanggung jawab;
nama dan alamat organisasi, kelompokatau perseorangan;
alat peraga yang digunakan; dan atau
jumlah peserta.
Dapat disimpulkan, jika Anda tetap ingin melaksanakan demonstrasi baik yang dilakukan pada jam kerja atau di luar jam kerja terhadap permasalahan di atas, maka Anda tetap wajib memberitahukan dan meminta izin kepada pihak Kepolisisan dan memberitahukan terlebih dahulu ke pihak terkait dalam perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Praduga Tidak Bersalah
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila tidak terbukti bahwa direktur keuangan perusahaan tersebut melakukan tindakan pidana, baik atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau karena penyidikan telah dihentikan oleh Polisi (SP3), maka Anda dapat saja dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Nyoman Serikat Putra Jaya. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro, 2005.
[1] Pasal 92 ayat (1) dan (2) UUPT [2] Pasal 97 ayat (1), (2), dan (3) UUPT
[3] Pasal 97 ayat (6) UUPT dan penjelasannya
[5] Pasal 11 ayat (1) UU 9/1998