Saya menikah dengan istri saya secara Islam baru 1 bulan, waktu malam pertama dia bilang pada saya kalau dia sudah tidak perawan lagi. Padahal sebelum nikah saya tahunya dia perawan dan belum hamil. Masuk bulan ke 2 ternyata benar cek ke dokter, usia kandungan sudah 4 bulan. Saya kaget dan kecewa banget. Sakit hati ini, saya merasa ditipu. Kalau saya mau mengajukan pisah bisakah? Itu masuknya perceraian atau pembatalan nikah ya? Apakah boleh menceraikan istri saat hamil? Jadi harus cerai atau pembatalan perkawinan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Sebelum memutuskan untuk mengakhiri pernikahan, baik dengan perceraian atau pembatalan perkawinan, kami menyarankan Anda untuk memastikan kembali hal ini kepada Istri Anda dan bicara dari hati ke hati.
Terhadap kondisi ini Anda sebagai suami yang merasa kecewa dengan kondisi istri yang sudah tidak perawan dan hamil sedangkan sebelumnya Anda mengetahui bahwa ia masih perawan dan tidak hamil, Anda lebih tepat untuk mengajukan pembatalan nikah sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pembatalan Nikah dan Perceraian yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 19 Juli 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Aturan Perceraian Islam
Menjawab pertanyaan Anda, kami sampaikan bahwa khusus yang beragama Islam, proses perceraian mengacu pada ketentuan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989.
Adapun aturan mengenai proses perceraian tersebut mengatur hal berikut.[1]
pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak;
dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu;
apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi;
selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Kemudian, apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.[2]
Terkait kehadiran suami istri dalam sidang perceraian lebih lanjut, pada saat proses mediasi/perdamaian mungkin saja hakim membutuhkan kehadiran suami atau istri secara langsung tanpa diwakili kuasanya sehingga memerintahkannya untuk hadir.[3]
Perlu diketahui bahwa perceraian yang sah hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[4]
Kemudian, untuk dapat melakukan perceraian, suami istri tersebut harus mempunyai alasan bahwa mereka tidak dapat hidup rukun lagi.[5] Adapun perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:[6]
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
Suami melanggar taklik talak;
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hukum Menceraikan Istri saat Hamil
Menjawab pertanyaan Anda, apakah boleh menceraikan istri saat hamil, perlu diketahui bahwa baik UU Perkawinan, PP 9/1975, KHI, maupun hadits, tidak ada yang mengatur mengenai larangan menceraikan istri saat sedang hamil. Dengan demikian, suami bisa menceraikan istri dalam keadaan hamil.
Pembatalan Perkawinan
Mengenai pembatalan kawin, Pasal 27 UU Perkawinan jo. Pasal 72 KHI menerangkan ketentuan berikut.
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Lebih lanjut, berdasarkan keterangan Anda yang merasa kecewa dengan kondisi istri yang sudah tidak perawan dan hamil, sedangkan sebelumnya Anda mengetahui bahwa ia masih perawan dan tidak hamil, Anda dapat mengajukan pembatalan perkawinan atau pembatalan nikah. Namun, penting untuk diketahui bahwa pembatalan perkawinan atau pembatalan nikah ini hanya berlaku hingga jangka 6 bulan setelah Anda menikah. Apabila lewat dari 6 bulan, Anda dapat melakukan upaya pisah dengan perceraian.
Demikian jawaban dari kami terkait pembatalan nikah dan bolehkah menceraikan istri saat hamil sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.